Pertanyaan:
Assalamualaikum ustadz, mau tanya masalah wanita, masih
bingung mengenai adakah dalil yang memperbolehkan wanita haid memotong kuku?
Jawaban:
Tidak ada dalil yang melarang wanita haid memotong kuku
atau rambut. Malah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan Aisyah
yang haid ketika umrah untuk menyisir rambut yang pasti ada yang rontok. Dan tidak
ada perintah untuk menyimpan dan memandikan rambut-rambut yang rontok tersebut.
…..دعي
عمرتك وانقضي رأسك وامتشطي
“Tinggalkan umrahmu, lepas ikatan rambutmu dan
ber-sisir-lah…” (HR. Bukhari 317 & Muslim 1211)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
A’isyah yang sedang haid untuk menyisir rambutnya. Padahal beliau baru saja
datang dari perjalanan. Sehingga kita bisa menyimpulkan dengan yakin, pasti
akan ada rambut yang rontok. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menyuruh A’isyah untuk menyimpan rambutnya yang rontok untuk dimandikan
setelah suci haid.
Hadist ini menunjukkan bahwa rambut rontok atau potong
kuku ketika haid hukumnya sama dengan kondisi suci. Artinya, tidak ada
kewajiban untuk memandikannya bersamaan dengan mandi haid. Jika hal ini
disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada
A’isyah agar menyimpan rambutnya dan memandikannya bersamaan dengan mandi
haidnya.
Lalu kenapa hukum larangan memotong kuku dll bagi wanita
haid begitu masyhur?
Tersebarnya pendapat ini karena apa yang terdapat dalam
kitab Ihya Ulumuddin :
Pendapat Imam al-Ghazali tentang larangan memotong kuku,
rambut, atau mengeluarkan darah atau bahagian daripada tubuh, dalam keadaan
berjunub. Berkata Imam al-Ghazzali dalam Ihya Ulumiddin (2/51):
“Dan tidak sepatutnya seseorang itu mencukur rambutnya,
memotong kukunya, mencukur bulu ari-arinya, atau mengeluarkan darahnya, atau
mengeluarkan satu bahagian daripada dirinya, sedang dia dalam keadaan berjunub.
Ini karena sekalian bahagian itu akan dikembalikan pada Hari Akhirat dalam
keadaan berjunub lalu dikatakan kepada orang itu : “Sesungguhnya setiap
bulu-bulu ini menuntut kepadanya atas keadaan janabah (atau kenapa ia
dibangkitkan dalam keadaan hadas besar).”Kenyataan ini dipetik sebagai faedah
dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj oleh Imam al-Haitami (1/284), al-Iqna` oleh Imam
al-Khatib al-Syarbini (1/70), Nihayah al-Muhtaj oleh Imam Syams al-Din al-Ramli
(1/229), Tuhfah al-Habib oleh Imam al-Bujairimi (1/247) dan lain-lain.
Maka diqiyaskan lah kondisi junub ke haid dan nifas,
padahal tidak ada dalil khusus tentang pelarangan tersebut sesuai dengan poin yang
disampaikan diatas.
0 komentar:
Posting Komentar