Pertanyaan:
Assalamualaikum. Ustadz yth. Bisa dijelaskan tentang
kesesatan aqidah mujassimah? Apakah benar ada yang menyebutkan bahwa salafiy
saat ini adalah wajah barunya??
Jazakallah
Jawaban:
Mujassimah adalah salah satu aliran atau pemahaman yang
menggambarkan Allah seolah-olah mempunyai tubuh, seperti punya tangan, punya
wajah, punya kaki, dsb. Misalnya ada ayat YADULLAH FAWQO AIDIHIM artinya tangan
Allah di atas tangan mereka. Dari ayat ini dipahami bahwa Allah punya tangan.
Ayat lain KULLU MAN 'ALAIHA FAN WA YABQO WAJHU ROBBIKA ZUL JALALI WAL IKROM (semua
yang ada ini akan hancur/ lenyap dan yang akan kekal abadi hanya lah WAJAH
Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan). Dari ayat ini dipahami bahwa
Allah punya Wajah. Pemahaman seperti ini bertentangan dengan ayat WA LAM YAKUN
LAHU KUFUWAN AHAD (tidak ada satupun yang serupa dengan Allah). Dan juga ayat
LAISA KAMITSLIHI SYAI'UN (tidak ada satupun yang serupa/ sama dengan Allah).
Ayat yang menjelaskan bahwa Allah punya Tangan, punya Wajah dsb disebut ayat
ayat Mutasyabihat. Bagi Ahlu Sunnah wal Jama'ah, ayat-ayat itu dipahami dan
diyakini saja bahwa Allah punya wajah, punya tangan. Tetapi tidak boleh
dipertanyakan lebih jauh seperti apa tangan Allah, berapa besar tangannya, Jarinya,
berapa besar wajah Allah (Bi La Kaifa). Bagi Mu' tazilah ayat-ayat Mutasyabihat
itu ditakwil, dialihkan maknanya. Maka Tangan Allah di atas tangan mereka, artinya
KEKUASAAN ALLAH DI ATAS KEKUASAAN MEREKA. Semua yang ada ini akan hancur dan yang
kekal hanya Wajah Allah, maksudnya yang akan Kekal hanya Dzat Allah, artinya
Allah itu sendiri yang kekal abadi. Wallahu A'lam.
Ustadz Dr. Mukhlis Bahar. Lc. MA
Tambahan jawaban dari DR. Jon Pamil , Ketua Ikadi Riau
Dr. H. Jon Pamil, MA (Dosen Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Suska Riau, ketua umum IKADI Riau, wakil ketua devisi Kominfo MUI
Riau)
بسم الله الرحمن الرحيم
Mujassimah adalah sebuah firqah yang menyimpang dari
aqidah Islam.Tokoh awalnya adalah seorang Rafidha bernama Hisyam bin al-Hakam,
yang mengatakan bahwa Allah punya fisik dengan sifat dan kadar tertentu. Fisik
Allah sama antara lebar dan tingginya, punya warna punya rasa, bercahaya
seperti mutiara bundar.
Adapun dalam tubuh ahlussunnah wal jama’ah, memang
terjadi juga perbedaan pendapat dalam menyikapi ayat-ayat tentang sifat khabariyah
(sifat-sifat Allah yang hanya bisa diketahui melalui khabar yang benar yaitu
al-Qur’an dan sunnah), seperti wajah, tangan, mata, berada di langit,
bersemayan (istiwa’), datang, turun dan sebagainya yang dinisbahkan kepada
Allah.
Kelompok Atsary/ahlul hadits, menetapkan makna zahir dari
sifat-sifat tersebut secara hakiki, sehingga Allah mempunyai wajah, tangan,
mata, berada di langit, bersemayan diatas ‘Arasy, turun setiap sepertiga akhir
malam serta datang bersama malaikat di hari kiamat nanti. Namun bagaimananya
(al-kaif) diserahkan kepada Allah. Jadi Allah punya wajah secara hakiki namun
bagaimana wajah Allah tidak diketahui, Allah bersemayan di atas Arasy secara
hakiki, namun bagaimana bersemayamnya tidak diketahui. Kaedah ini (balkafah)
diambil dari jawaban Imam Malik terhadap pertanyaan seseorang terkait bersemayamnya
Allah, yaitu bahwa makna bersemayan itu diketahui (ma’lum) tetapi caranya
(alkaif) tidak diketahui (Majhul). Diantara ulama yang menganut faham seperti
ini adalah Imam Ahmad, Imam Ibnu Mandah, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnu
Taimiyah, Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dan sebagainya.
Sedangkan kelompok Asy ’ariah mutaakhkhirah (pengikut
Asy’ari belakangan) punya pendapat bahwa ayat-ayat tersebut tidak boleh
difahami zahirnya. Mereka berpendapat bahwa para salaf menyerahkan makna-makna
ayat tersebut kepada Allah (tafwidh), dan cara ini mereka anggap lebih selamat
(aslam). Namun mereka juga menempuh cara khalaf yaitu dengan mentakwil makna
ayat-ayat tersebut. Wajah ditakwil dengan keridhaan, tangan dengan kekuasaan,
mata dengan pengawasan, istiwa’ dengan bersemayamnya kekuasaan, turun ke langit
dunia ditakwil dengan turunnya ramat Allah, datangnya Allah di hari kiamat
dengan datangnya perintah Allah. Mereka menganggap cara ini lebih mantap (ahkam).
Diantara ulama yang berfaham seperti ini adalah Imam al-Ghazali, Imam Arrozi,
dan sebagainya.
Nah, yang dianut oleh kawan-kawan yang dijuluki salafi
sa’at ini adalah mazhab ahlul hadits atau Atsari ini. Ini bukan mazahab
menyimpang dan bukan pula mujassimah. Dua kelompok besar ini merupakan realita
dalam tubuh sunni. Perbedaan ini bukan perbedaan baru, namun sudah sejak
puluhan abad yang lalu. Kita yang hidup di zaman ini mestilah mengedepankan
objektifitas dan menjauhkan diri dari ta’ashshub dan taqlid buta.
Kalau kita mau merujuk pada salaf (sahabat dan tabi’in)
dalam memahami ayat-ayat sifat khabariyah tersebut dengan merujuk pada tafsir
bilma’tur semisal Aththabary, Al-Baghawi bahkan tafsir Imam Suyuthi yang
bernama Addurul mantsur Fi Attafsir bi al-Matsur, kita akan tahu betapa
lempangnya pemahan salaf terkait ayat-ayat ini. Mereka berta’amul dengannya
sesuai dengan konteksnya. Karenanya kadang mereka mentakwil semisal wajah yang
ada dalam surat al-Baqarah 115 dengan kiblat, wajah yang terdapat dalam
ayat-ayat yang konteksnya zakat, infaq dan shadaqah dengan keridhaan, mata
dengan pengawasan karena konteksnya perintah Allah terhadap nabi Nuh untuk
membuat sampan. Tapi mereka juga meng itsbat (menetapkan makna lahir) seperti
keberadaan Allah dilangit, bersemayamnya Allah serta datangnya Allah di hari
kiamat. NAMUN TAKWIL MEREKA TIDAK MENTA’THIL (MENAFIKAN SIFAT), DAN ITSBAT
MEREKA TIDAK MENTAJSIM DAN MENTASYBIH. Mereka pahami secara global dan tidak
berdebat menghabiskan energi disitu. Mereka sibuk berjihad, berdakwah dan
membangun keilmuan dan peradaban.
Terkait dalam masalah akidah ini, menarik juga kalau kita
memperhatikan manhaj ulama-ulama kontemporer yang menawarkan beberapa hal,
diantaranya :
1. Bahwa
dua kelompok sunni ini realitas yang tak bisa dipungkiri, dan kedua mazhab ini
dianut oleh ulama-ulama besar dengan keilmuan yang mumpuni. Karenanya kalau
memang kita berbeda dan belum bisa disatukan, maka janganlah perbedaan itu
menyebabkan kita terus menerus saling serang diantara kita. Mari arahkan energi
kita pada musuh hakiki kita yang memang menginginkan kita terus dalam
perselisihan. Mari arahkan energi kita untuk mengerjakan proyek-proyek kebangkitan
umat.
2. Bahwa
manhaj al-Qur’an dalam menanamkan akidah sangat halus dan lembut, lebih lembut
dari angin sepoi-sepoi. Allah memperkenalkan dirinya baik nama-nama maupun
sifat-sifatnya dengan pernyataan-pernyataan datar dalam al-Qur’an, lalu
mengarahkan manusia untuk membuktikannya pada ayat-ayat kauniyah yang ada dalam
alam semesta ini. Keberadaan Allah, keesaanNya, ilmuNya yang sempurna, kekuasanNya,
sifat kasih sayangNya akan terbaca dan terbukti melalui penelitian terhadap
ayat-ayat Allah di alam semesta ini. Dengan demikian iman akan meningkat,
teknologi akan terkuasai. Ayat-ayat sifat khabariyah jumlahnya hanya puluhan,
sementara ayat-ayat kauniyah jumlahnya ratusan. Diantara kitab-kitab yang
ditulis oleh ulama kontemporer dalam masalah akidah dengan pendekatan ini
adalah kitab Allah Jalla Jalaluhu karya Sayyid Hawwa, Kitab Attauhid wa
al-i’ijaz al’Ilmi fi al-Quranu al-Karim karya Syekh Abdul majid ‘Aziz Azzindani
dan lain. Syekh Muhammad al-Ghazalili mengatakan, seandainya generasi salaf itu
hidup dalam aliran yang suka berdebat, maka takkan ada satu negeripun bisa
mereka tundukkan dan tak ada satu dadapun yang bisa dimasuki iman.
3. Khazanah
atau turats yang sangat banyak dalam masalah ini, bukan berarti tidak berguna,
ianya sangat berguna dijadikan sebagai bahan kajian oleh para peneliti. Namun
tidak semuanya cocok jadi konsumsi masyarakat awam. Perdebatan yang tajam
(saling tabdi’, tafsiq, takfir) sangat tidak elok bila terus menerus
diwariskan. Biarlah itu sejarah masa lalu yang tidak pantas dipikulkan pada
generasi sekarang ini.
Terakhir saya ingin menyampaikan, dua hal :
1. Kita
mesti hati-hati betul menyikapi perbedaan dikalangan sunni ini, sebab kelompok
syi’ah sangat pandai memanfa’atkannya untuk melemahkan kita.
2. Jangan
lupa salah satu aspek akidah yang juga sangat penting adalah al-Wala’ wa
al-Barra, yang Nabi menyebutnya sebagai tali perekat umat paling kuat (Aqwa
‘ural Ummah). Nah jangan sampai gara-gara perselisihan dalam masalah ini kita
memutus yang kuat ini.
Wallahu a’lam bishshawab.
Pekanbaru, 05 November 2017
Indak batua ko di....
BalasHapus