Alamat: Jl. Ikhlas III No.7, Andalas, Padang Timur, Kota Padang, Sumatera Barat 25171

Minggu, 28 Januari 2018

Meng Qadha Shalat

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum ust... Ana ingin bertanya... 
Sebenanrnya,  sudah lama ana mendngar cerita ini,  tapi kmren,  ana kmbali lagi mendengar cerita tersebut yang mengatakan bahwa "shalat yang tidak dilaksanakan pada waktu muda dulu,  harus di qadha/dignti dengan shalat ketika kita sudah bertaubat"

Pertanyaan inti adalah : apakah ada shalat wajib ini di qadha? 
Misalnya : kita koma agak 2 bulan atau lebih,  maka kita juga akan mengganti shalat kita yang tidak terlaksana tersebut ketika kita sudah sadar

Bagaimana menurut ustadz? 
Yang lebih ana herankan lagi, sumber yang dibcakan oleh si pencerita kemren adalah,  dari ust a*du s**m*…

Mohon bimbingannya ustadz. 

(maaf klo bahasa nya gak karuan,  mudah2 an bisa di mengerti) 


Jawaban:

Mengqadha shalat wajib yang sudah terlewat waktunya ada dua macam:

1.       Terlewat karena alasan (udzur) yang syar'i, seperti karena tertidur, terlupa dan dalam kecamuknya medan jihad.
2.       Terlewat dengan sengaja tanpa alasan yang dibolehkan oleh syara'.

Pertaman; Para ulama semuanya sepakat menyatakan bahwa Mengqadha shalat wajib yang tertinggal karena alasan syar'i  adalah WAJIB. Hal tersebut ditegaskan dengan dalil-dalil yang sangat kuat.

Dalil-dalil tersebut antara lain, adalah sebagai berikut:

Sabda Rasulullah saw dari Hadits Anas bin Malik:

مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلاةَ لِذِكْرِي.

Artinya: ”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan shalat tersebut dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (HR. Bukhari)

Adapun dalam kecamuk medan jihad, Nabi SAW Mengqadha' Empat Waktu Shalat Dalam Perang Khandaq.

Rasulullah SAW ketika itu telah terlewatkan 4 waktu shalat, yaitu Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya. Maka Beliau dan para sahabatnya melakukan keempat shalat tersebut secara urut setelah waktu isya.

عَنْ نَاِفع عَنْ أَبِي عُبَيْدَة بنِ عَبْدِ الله قَالَ : قاَلَ عَبْدُ الله : إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ.

Artinya: Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i) 

Nabi SAW juga Mengqadha Shalat Shubuh karena tertidur sepulang dari Perang Khaibar:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلاةِ . قَالَ بِلالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلالٌ ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلالُ أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاةِ فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى

Artinya: Dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya berkata,”Kami pernah berjalan bersama Nabi SAW pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar bersama kami?” Beliau menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka mereka pun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggangannya. Namun ternyata rasa kantuk mengalahkannya dan akhirnya Bilal

pun tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau SAW berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari) 

Semua dalil2 diatas menunjukkan wajibnya mengqadha shalat yang terlewatkan karena adanya udzur. Caranya adalah mengqadha langsung ketika terbangun, atau teringat atau terbebas dari kecamuk perang.

Kedua; Adapun mengqadha shalat wajib yang dutinggalkan dengan sengaja, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini kepada dua pendapat besar.

*Pendapat pertama* menyatakan wajib mengqadha, walaupun habis waktunya untuk melakukan hal itu, walaupun banyak shalat yang terlewatkan, selama tidak memberatkan. Pendapat ini adalah pendapat Imam 4 madzhab; Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali.

Alasan pendapat ini secara umum didasarkan kepada dalil hadits di atas yang menyatakan tidak ada kaffarah kecuali qadha. Dan alasan lain adalah karena kewajiban shalat tidak pernah terhapus bagi seseorang sampai dia meninggal. Dan kewajiban qadha diqiyaskan kepada yang berudzur.

Imam Ibnu Najim (w. 970 H) salah seorang ulama mazhab Hanafi, dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq menyatakan:

أن كل صلاة فاتت عن الوقت بعد ثبوت وجوبها فيه فإنه يلزم قضاؤها سواء تركها عمدا أو سهوا أو بسبب نوم وسواء كانت الفوائت كثيرة أو قليلة

"Sesungguhnya tiap shalat yang terlewat dari waktunya setelah pasti wajibnya, maka wajib untuk diqadha', baik ditinggalkannya karena sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang ditinggalkan itu banyak atau sedikit."

Imam An-Nawawi (w. 676 H) salah satu Ulama rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab:

من لزمه صلاة ففاتته لزمه قضاؤها سواء فاتت بعذر أو بغيره فإن كان فواتها بعذر كان قضاؤها على التراخي ويستحب أن يقضيها على الفور

Orang yang sudah wajib hukum shalat baginya, lalu melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha' shalat tersebut, baik terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewat karena udzur boleh mengqadha'nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab."

Adapun *Pendapat yang kedua*, tidak ada qadha bagi yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama kontemporer Syekh Bin Baz, Utsaimin, Albany dan Sayyid Sabiq dalam fiqh Sunnahnya.

Alasan pendapat kedua ini antara lain:
1.       Kewajiban shalat itu sudah Allah tetapkan waktunya. Melakukan shalat tidak pada waktunya dengan sengaja, shalat tersebut tidak sah sama sekali. Dan tidak ada dalil yang memerintahkan penggantiannya. Berbeda dengan yang ada udzur, ada dalil yg memerintahkan penggantiannya. Maka otomatis menjadi waktu baru bagi ibadah tersebut, yaitu waktu saat hilangnya udzur.
2.       Kalau kewajiban shalat masih boleh dikerjakan dilain hari, maka akan tidak artinya Allah menetapkan batas awal dan batas akhir dari waktu shalat. Mustahil Allah mensyariatkan yang sia-sia.
3.       Kalau shalat yang ditinggal dengan sengaja masih boleh dikerjakan dihari lain, maka tidak ada gunanya Allah mengancam neraka wail (kecelakaan) bagi yang telah melalaikan shalat.

Bagi pelakunya tidak ada pilihan kecuali bertobat dengan sebenar2nya taubat. Karena dia telah melakukan sebuah dosa besar. Dengan tobat yang benar, semoga Allah mengampuninya. Dan dia harus memperbanyak amalan sunnah dan kebaikan untuk memperberat timbangan pahalanya di akhirat.

Syekh Sayyid Sabiq menyatakan bahwa pendapat kedua ini merupakan pendapat Umar Bin Khattab, Ibnu Umar, Saad bin Abi Waqqas, Salman Alfarisi, Ibnu Mas'ud, Muhammad bin Sirrin, Umar bin Abdul Aziz dan lain2.

Pendapat kedua ini terlihat lebih kuat dan lebih maslahat. Agar orang tidak mudah saja melalaikan shalat.

Adapun bagi orang yang gila atau hilang akal dalam jangka waktu yang lama, tidak wajib baginya qadha shalat sampai dia kembali sadar dan normal kembali. Hal ini dinyatakan olehhy Imam Az Zuhri, Hasan Al Bashri dan Muhammad bin Sirrin.

Wallahu A'lam.


Ustadz H.Irsyad Syafar. Lc. M. Ed

0 komentar:

Posting Komentar