Alamat: Jl. Ikhlas III No.7, Andalas, Padang Timur, Kota Padang, Sumatera Barat 25171

MUTIARA HIKMAH

IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin

MUTIARA HIKMAH

IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin

MUTIARA HIKMAH

IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin

MUTIARA HIKMAH

IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin

MUTIARA HIKMAH

IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin

Kamis, 15 Februari 2018

Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah - Dr. Urwatul Wusqa, Lc., MA

Hukum Musik dan Alat Musik - Ustadz Dr. Urwatul Wusqa, Lc., MA

Selasa, 13 Februari 2018

SATU JARI YANG DAHSYAT


Oleh: H. Irsyad Syafar, Lc., M.Ed

Siapakah yang tidak kenal dengan Qutaibah bin Muslim Al Bahiliy. Dialah seorang panglima perang yang sangat terkenal, pemimpin penaklukan Islam di kawasan Asia tengah pada abad pertama hijriyah. Tabiin yang mulia ini telah menaklukkan wilayah Khawarizmi, Sijistan, Samarqand, Bukhara dan sampai ke perbatasan negara Rusia.

Imam Adz Dzahabi menceritakan dalam kitab "Siyar A'lam An Nubala", ketika Qutaibah memimpin pasukan umat Islam berhadapan dengan pasukan Attrak, hatinya bergetar melihat pasukan lawan yang sangat tangguh. Maka dia bertanya kepada pengawalnya, "Dimana Muhammad bin Al Waasi'?". Para sahabatnya memberi tahu bahwa Muhammad bin Al Wasi' ada di barisan sayap kanan pasukan.

Maka Qutaibah menoleh ke arah sayap kanan pasukan. Rupanya disana Muhammad bin Al Wasi' sedang bersiap dengan panahnya. Tapi, jari telunjuknya menunjuk ke arah langit, dan bibirnya komat-kamit berdoa kepada Allah.

Seketika itu juga Qutaibah langsung berteriak dengan keras: "Sesungguhnya satu jari itu lebih aku sukai dari pada seratus ribu anak panah yang terbang melayang dan seratus ribu pemuda yang berperang".

Dan benar, peperangan itu dimenangkan oleh pasukan Qutaibah bin Muslim. Dan doa seorang lelaki shaleh lagi mulia, Muhammad bin Al Wasi' telah membuat kokoh dan kuatnya pasukan dihadapan kekuatan musuh.

Begitulah buah dari hubungan yang sangat baik dan kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Yaitu kemenangan dalam setiap perjuangan. Bahkan satu jari sekalipun bisa jauh lebih kuat dari pada  seratus ribu pasukan.

Dalam kerja-kerja dakwah, seorang da'i sangat membutuhkan pertolongan-pertolongan khusus dari Allah. Sebab, beban dan tantangan dakwah dari hari ke hari semakin berat. Maka setiap da'i harus membangun hubungan yang baik dengan Allah, melalui penguatan iman dan peningkatan amal shaleh baik kualitas maupun kuantitas.

Seorang da'i tidak boleh menyepelekan doa dan ibadah yang dia lakukan kepada Allah. Bisa jadi dari situ Allah mendatangkan pertolonganNya. Tidak saja kepada dirinya, bahkan bisa kepada kerja-kerja dakwah kolektif bersama para da'i lainnya. Dan bisa jadi itu terjadi dari orang biasa-biasa saja.

Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ.(رواه البخاري ومسلم)

Artinya: Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah, ada orang yang kalau dia bersumpah dengan nama Allah, niscaya Allah buktikan (terjadi)". (HR bukhari dan Muslim).

Wallahu A'laa wa A'lam.

Minggu, 28 Januari 2018

Meng Qadha Shalat

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum ust... Ana ingin bertanya... 
Sebenanrnya,  sudah lama ana mendngar cerita ini,  tapi kmren,  ana kmbali lagi mendengar cerita tersebut yang mengatakan bahwa "shalat yang tidak dilaksanakan pada waktu muda dulu,  harus di qadha/dignti dengan shalat ketika kita sudah bertaubat"

Pertanyaan inti adalah : apakah ada shalat wajib ini di qadha? 
Misalnya : kita koma agak 2 bulan atau lebih,  maka kita juga akan mengganti shalat kita yang tidak terlaksana tersebut ketika kita sudah sadar

Bagaimana menurut ustadz? 
Yang lebih ana herankan lagi, sumber yang dibcakan oleh si pencerita kemren adalah,  dari ust a*du s**m*…

Mohon bimbingannya ustadz. 

(maaf klo bahasa nya gak karuan,  mudah2 an bisa di mengerti) 


Jawaban:

Mengqadha shalat wajib yang sudah terlewat waktunya ada dua macam:

1.       Terlewat karena alasan (udzur) yang syar'i, seperti karena tertidur, terlupa dan dalam kecamuknya medan jihad.
2.       Terlewat dengan sengaja tanpa alasan yang dibolehkan oleh syara'.

Pertaman; Para ulama semuanya sepakat menyatakan bahwa Mengqadha shalat wajib yang tertinggal karena alasan syar'i  adalah WAJIB. Hal tersebut ditegaskan dengan dalil-dalil yang sangat kuat.

Dalil-dalil tersebut antara lain, adalah sebagai berikut:

Sabda Rasulullah saw dari Hadits Anas bin Malik:

مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلاةَ لِذِكْرِي.

Artinya: ”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan shalat tersebut dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (HR. Bukhari)

Adapun dalam kecamuk medan jihad, Nabi SAW Mengqadha' Empat Waktu Shalat Dalam Perang Khandaq.

Rasulullah SAW ketika itu telah terlewatkan 4 waktu shalat, yaitu Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya. Maka Beliau dan para sahabatnya melakukan keempat shalat tersebut secara urut setelah waktu isya.

عَنْ نَاِفع عَنْ أَبِي عُبَيْدَة بنِ عَبْدِ الله قَالَ : قاَلَ عَبْدُ الله : إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ.

Artinya: Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i) 

Nabi SAW juga Mengqadha Shalat Shubuh karena tertidur sepulang dari Perang Khaibar:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلاةِ . قَالَ بِلالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلالٌ ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلالُ أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاةِ فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى

Artinya: Dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya berkata,”Kami pernah berjalan bersama Nabi SAW pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar bersama kami?” Beliau menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka mereka pun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggangannya. Namun ternyata rasa kantuk mengalahkannya dan akhirnya Bilal

pun tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau SAW berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari) 

Semua dalil2 diatas menunjukkan wajibnya mengqadha shalat yang terlewatkan karena adanya udzur. Caranya adalah mengqadha langsung ketika terbangun, atau teringat atau terbebas dari kecamuk perang.

Kedua; Adapun mengqadha shalat wajib yang dutinggalkan dengan sengaja, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini kepada dua pendapat besar.

*Pendapat pertama* menyatakan wajib mengqadha, walaupun habis waktunya untuk melakukan hal itu, walaupun banyak shalat yang terlewatkan, selama tidak memberatkan. Pendapat ini adalah pendapat Imam 4 madzhab; Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali.

Alasan pendapat ini secara umum didasarkan kepada dalil hadits di atas yang menyatakan tidak ada kaffarah kecuali qadha. Dan alasan lain adalah karena kewajiban shalat tidak pernah terhapus bagi seseorang sampai dia meninggal. Dan kewajiban qadha diqiyaskan kepada yang berudzur.

Imam Ibnu Najim (w. 970 H) salah seorang ulama mazhab Hanafi, dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq menyatakan:

أن كل صلاة فاتت عن الوقت بعد ثبوت وجوبها فيه فإنه يلزم قضاؤها سواء تركها عمدا أو سهوا أو بسبب نوم وسواء كانت الفوائت كثيرة أو قليلة

"Sesungguhnya tiap shalat yang terlewat dari waktunya setelah pasti wajibnya, maka wajib untuk diqadha', baik ditinggalkannya karena sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang ditinggalkan itu banyak atau sedikit."

Imam An-Nawawi (w. 676 H) salah satu Ulama rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab:

من لزمه صلاة ففاتته لزمه قضاؤها سواء فاتت بعذر أو بغيره فإن كان فواتها بعذر كان قضاؤها على التراخي ويستحب أن يقضيها على الفور

Orang yang sudah wajib hukum shalat baginya, lalu melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha' shalat tersebut, baik terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewat karena udzur boleh mengqadha'nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab."

Adapun *Pendapat yang kedua*, tidak ada qadha bagi yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama kontemporer Syekh Bin Baz, Utsaimin, Albany dan Sayyid Sabiq dalam fiqh Sunnahnya.

Alasan pendapat kedua ini antara lain:
1.       Kewajiban shalat itu sudah Allah tetapkan waktunya. Melakukan shalat tidak pada waktunya dengan sengaja, shalat tersebut tidak sah sama sekali. Dan tidak ada dalil yang memerintahkan penggantiannya. Berbeda dengan yang ada udzur, ada dalil yg memerintahkan penggantiannya. Maka otomatis menjadi waktu baru bagi ibadah tersebut, yaitu waktu saat hilangnya udzur.
2.       Kalau kewajiban shalat masih boleh dikerjakan dilain hari, maka akan tidak artinya Allah menetapkan batas awal dan batas akhir dari waktu shalat. Mustahil Allah mensyariatkan yang sia-sia.
3.       Kalau shalat yang ditinggal dengan sengaja masih boleh dikerjakan dihari lain, maka tidak ada gunanya Allah mengancam neraka wail (kecelakaan) bagi yang telah melalaikan shalat.

Bagi pelakunya tidak ada pilihan kecuali bertobat dengan sebenar2nya taubat. Karena dia telah melakukan sebuah dosa besar. Dengan tobat yang benar, semoga Allah mengampuninya. Dan dia harus memperbanyak amalan sunnah dan kebaikan untuk memperberat timbangan pahalanya di akhirat.

Syekh Sayyid Sabiq menyatakan bahwa pendapat kedua ini merupakan pendapat Umar Bin Khattab, Ibnu Umar, Saad bin Abi Waqqas, Salman Alfarisi, Ibnu Mas'ud, Muhammad bin Sirrin, Umar bin Abdul Aziz dan lain2.

Pendapat kedua ini terlihat lebih kuat dan lebih maslahat. Agar orang tidak mudah saja melalaikan shalat.

Adapun bagi orang yang gila atau hilang akal dalam jangka waktu yang lama, tidak wajib baginya qadha shalat sampai dia kembali sadar dan normal kembali. Hal ini dinyatakan olehhy Imam Az Zuhri, Hasan Al Bashri dan Muhammad bin Sirrin.

Wallahu A'lam.


Ustadz H.Irsyad Syafar. Lc. M. Ed

Sabtu, 27 Januari 2018

TIGA MASUK SORGA dan TIGA MASUK NERAKA

Oleh: H. Irsyad Syafar, Lc., M.Ed

Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah diberitahu oleh Allah, bahwa ada tiga golongan yang pertama-tama di masukkan ke dalam sorga dan ada tiga pula yang pertama-tama dimasukkan ke dalam neraka. Beliau bersabda:

"عُرِضَ عَلَيَّ أَوَّلُ ثَلاثَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ , وَأَوَّلُ ثَلاثَةٍ يَدْخُلُونَ النَّارَ , فَأَمَّا أَوَّلُ ثَلاثَةٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ : فَالشَّهِيدُ , وَعَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَحْسَنَ عِبَادَةَ رَبِّهِ وَنَصَحَ لِسَيِّدِهِ , وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ ، وَأَوَّلُ ثَلاثَةٍ يَدْخُلُونَ النَّارَ : أَمِيرٌ مُسَلَّطٌ , وَذُو ثَرْوَةٍ مِنْ مَالٍ لا يُعْطِي حَقَّهُ , وَفَقِيرٌ فَخُورٌ ".

Artinya: "Dipaparkan kepadaku tiga yang pertama masuk sorga dan tiga yang pertama masuk neraka. Adapun tiga yang paling pertama masuk sorga adalah: orang yang mati syahid, hamba sahaya yang beribadah dengan baik kepada Allah dan menasehati (tulus kepada) tuannya, serta orang miskin yang menjaga kehormatannya (tidak mengemis) walaupun banyak anak-anaknya. Sedangkan tiga yang paling pertama masuk neraka adalah: Pemimpin yang diktator, orang kaya yang banyak harta tapi tidak menunaikan hak Allah pada hartanya, dan orang miskin yang sombong". (HR Turmidzi dan Al Hakim, dari Abu Hurairah).

Hadits di atas menyebutkan terkait orang-orang yang paling pertama, baik masuk sorga ataupun masuk neraka. Paling pertama disini bisa mengandung makna memang paling pertama dalam hal yang disebutkan, atau juga mengandung makna janji yang sangat mulia atau ancaman yang sangat keras dari Allah.

Sebab, terdapat dalil dari hadits-hadits lain yang menyebutkan orang-orang lain yang juga paling pertama masuk sorga atau neraka, tapi tidak ada dalam teks hadits ini.

Maka berdasarkan hadits ini, golongan pertama yang paling pertama masuk sorga adalah orang yang *mati syahid*. Yaitu orang yang wafat atau terbunuh karena memperjuangkan agama Allah, atau mati terbunuh di medan pertempuran jihad fiisabilillah. Mereka ini masuk dalam jenis syahid hakiki, yang jenazahnya dishalatkan tapi tidak dimandikan, dan tidak dikafani kecuali dengan pakaian yang dia pakai saat mati syahid.

Kemudian ada lagi orang-orang yang syahid secara hukum, tapi tidak termasuk syahid hakiki. Mereka tidak diperlakukan sebagaimana syahid hakiki. Mereka tetap dimandikan, dikafani dan dishalatkan seperti jenazah biasa lainnya. Mereka mendapat kemuliaan khusus dari Allah, tetapi tidak sampai level (derjat) syahid hakiki.

Berdasarkan hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasai, mereka itu antara lain adalah: "Orang yang wafat karena membela hartanya, atau karena membela darahnya (jiwanya), atau karena membela keluarganya". 

Kemudian dari hadits lain riwayat Abu Daud dan Nasai dari Jabir, oran yang juga syahid adalah: "Orang yang mati tenggelam, yang mati karena sakit perut, yang mati karena kebakaran, yang mati karena tertimpa bangunan dan perempuan yang mati karena melahirkan."

Kelompok *kedua* yang paling pertama masuk sorga adalah hamba sahaya yang beribadah dengan baik kepada Allah dan memberikan nasehat kepada tuannya. Kondisi dirinya yang budak dan tidak berdaya, tidak menghalanginya untuk dapat melaksanakan ibadah dengan cara yang terbaik. Disamping itu dia tidak sungkan atau malu untuk memberikan saran atau nasehat kepada tuannya, sebagai bentuk ketulusannya kepada tuannya.

Sebab, orang-orang yang berada dalam posisi susah apalagi tidak berdaya, biasanya akan sulit melaksanakan ibadah dengan kualitas maksimal. Apalagi akan berani pula untuk memberikan nasehat kepada tuannya. Kedua perbuatan tersebut beresiko besar lagi berat baginya. Tapi dia tetap melaksanakannya.

Adapun yang *ketiga,* gololongan yang paling pertama masuk sorga adalah orang yang tak berpunya (miskin), tapi tidak mau mengemis-ngemis, padahal dia memiliki anak atau keluarga yang banyak. Orang miskin *terhormat* jenis ini  lebih memilih hidup sangat minimalis dan apa adanya, qana'ah dengan itu, dari pada menjatuhkan harga diri dengan meminta-minta kepada orang lain.

Dengan himpitan dunia hari ini, ada orang-orang miskin yang menjatuhkan harga dirinya, meminta kian kemari, kadang berani berbohong atau menipu, atau bahkan menggadaikan agamanya, demi sesuap nasi.

Sedangkan bagian kedua yang dinyatakan Rasulullah saw sebagai 3 golongan pertama yang *masuk neraka* adalah:

*Pertama* penguasa atau pemimpin yang diktator. Yaitu penguasa yang berlaku semena-mena kepada rakyatnya, menyusahkan mereka dan memimpin dengan tangan besi.

Di bawah kekuasaannya, rakyat menjadi tertindas, kemiskinan dimana-mana, banyak kewajiban yang menghimpit sementara hak semakin terbatas dan berkurang.

Dalam konteks yang semakna, yang menunjukkan betapa urgennya posisi pemimpin atau penguasa, hadits lain menyebutkan 7 golongan yang nanti di akhirat mendapat naungan khusus dari Allah, di hari yang tidak ada sama sekali naungan kecuali naunganNya. Satu dan yang pertama dari 7 golongan tersebut adalah "Imam (pemimpin) yang adil".

*Kedua* adalah orang kaya yang tidak menunaikan hak-hak Allah yang ada di dalam hartanya. Ia tidak menunaikan kewajiban zakat secara baik dan rapi. Kalaupun ia berzakat, tapi ia tidak tuntaskan dari seluruh harta (nikmat) Allah yang ia terima. Dibayarkan hanya secara kira-kira saja tanpa hitungan yang detail dan valid dari total rezeki Allah yang diterimanya.

Disamping itu ia juga tidak menunaikan kewajiban lain dalam hartanya (diluar zakat). Yaitu berupa pemberian kepada karib kerabat, anak yatim, orang miskin, para pengemis dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan Firman Allah yang mengisyaratkan adanya kewajiban lain dikuar zakat, dalam surat Al Baqarah:

 وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ...

Artinya: "dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya..." (QS Al Baqarah: 177).

Ditambah lagi dengan pelitnya ia dalam memberikan sedekah dan infaq-infaq yang sunnah. Allah telah memberikan ancaman dan peringatan keras bagi orang-orang yang berlaku bakhil (pelit):

الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

Artinya: "Orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan". (QS An Nisa: 37).

*Ketiga* adalah orang miskin yang sombong. Yaitu orang miskin yang tidak punya apa-apa, tapi bersifat sombong, angkuh dan congkak kepada orang lain. Ini merupakan akhlak yang sangat tercela. Sebab, ia tidak mempunyai sesuatu yang layak untuk disombongkan atau dibangga-banggakan kepada orang lain. Dosa orang miskin yang sombong lebih besar dari pada orang kaya yang sombong.

Semakna dengan ini, juga terdapat hadits shahih yang menyatakan:

عن أبي هريرة رضي الله عنه: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة، ولا يزكيهم، ولا ينظر إليهم، ولهم عذاب أليم: شيخ زان، وملك كذاب، وعائل مستكبر. (رواه مسلم).

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw, Beliau bersabda: "Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, dan tidak akan disucikan Allah, serta tidak akan dilihat oleh Allah, dan bagi mereka adzab yang pedih. Yaitu: Orang tua yang berzina, Raja (pemimpin) yang pembohong, dan orang miskin yang sombong". (HR Muslim).

Semoga kita termasuk dalam 3 golongan yang pertama-tama masuk sorga.

Wallahu A'laa wa A'lam.

EMPAT KEBAHAGIAAN dan EMPAT KESENGSARAAN

Oleh: H. Irsyad Syafar, Lc., M.Ed

Hal yang paling berpengaruh bagi diri dan hidup seseorang adalah yang selalu atau sering melekat dengan dirinya. Hal-hal tersebut, bila menyenangkan maka akan membuat seseorang menjadi bahagia. Sebaliknya, bila menyusahkan maka akan membuatnya menjadi sengsara.

Adapun hal yang sifatnya sementara, tidak berlama-lama dan tidak dalam jangka waktu yang panjang, biasanya tidak terlalu berpengaruh besar dalam bahagia atau sengsaranya seseorang.

Bagi orang yang beriman, pastilah mereka menginginkan kebahagiaan hidup di dunia dan juga di akhirat. Dan bahagia di dunia itu adalah suatu yang boleh dan dianjurkan, selama sesuai dengan arahan syariat Allah. Bahasa Al Qurannya adalah kebaikan (hasanah) di dunia dan kebaikan (hasanah) di akhirat:

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

Artinya: "Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (QS Al Baqarah: 201).

Atau dalam bahasa ayat yang lain "hayatan thayyibah" (kehidupan yang baik):

 مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (97)

Artinya: "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS An Nahl: 97).

Nabi Muhammad SAW menjelaskan 4 kebahagiaan bagi orang beriman di dunia dan sekaligus lawannya 4 kesengsaraan.

عن سعد بن أبي وقاص - رضِي الله عنه - عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: "أربعٌ من السعادة: المرأةُ الصالحة، والمسكنُ الواسِع، والجارُ الصالح، والمَرْكَب الهنيء، وأربعٌ من الشقاء: المرأة السوء، والجار السوء، والمركب السوء، والمسكن الضيِّق." (رواه ابن حبان، والحاكم، والطبراني والبيهقي، وصححه الألباني).

Artinya: Diriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqash, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Empat hal yang termasuk kebahagiaan adalah Istri yang shalehah, rumah yang lapang, tetangga yang baik dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan adalah Istri yang buruk (akhlaknya), rumah yang sempit, tetangga yang buruk dan kendaraan yang tidak nyaman." (HR Ibnu Hibban, Al Hakim, Thabrany dan Baihaqi, dishahihkan oleh Albani).

Dari hadits di atas, maka kebahagiaan yang *pertama* adalah *istri yang shalehah*. Sebagaimana dalam hadits shahih Muslim, Rasulullah saw menyebutkan bahwa istri yang shalehah itu adalah perhiasan dunia yang terbaik. Ia akan mencintai suaminya dengan tulus dan ikhlas, setia dan patuh kepadanya, rela dan qana'ah dengan pemberian suami, menjaga harta suami dan anak-anaknya, serta menjaga kehormatan dirinya sendiri. 

Wanita shalihah itu juga adalah yang apabila suami memandangnya, suami menjadi senang. Karena ia pandai berhias di depan suaminya, bertutur kata sopan, memberikan senyum terbaiknya setiap hari. Dan bila suami menyuruhnya, maka ia akan patuh dan taat kepadanya (selama bukan maksiat), mengerjakannya dengan penuh penghormatan. Bahkan Rasulullah saw menyatakan bahwa wanita ahli sorga itu adalah yang penyayang, banyak anak dan lemah lembut. Malah bila dia dizhalimi maka dia letakkan tangannya di tangan suaminya, dan dia berkata: "Ini tanganku di tanganmu. Tak akan aku kecap makanan sebelum engkau redha kepadaku." (HR Daruquthni, dihasankan Albani).

Semua inilah kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Seorang suami pasti akan nyaman berada dan bersama dengan istri yang seperti ini. Tak lama diluar rumah, ia akan segera ingin kembali. Bila bepergian jauh, rasa rindunya tak tertahan di hati.

Sebaliknya akan menjadi kesengsaraan dan petaka bila punya istri yang buruk akhlaknya. Tidak patuh dan tidak setia kepada suami. Mudah senyum dan ramah kepada lelaki lain, tapi kepada suaminya sendiri justru ketus, cerewet dan jarang senyum. Ia bisa tampil keluar rumah bagaikan ratu sejagad, tapi di dalam rumah (saat suami di rumah) dia bagaikan pembantu rumah tangga yang tidak menarik. Apalagi ditambah dengan tidak amanah dengan harta suami, tidak sayang kepada anak-anaknya, mudah marah dan emosi, atau bahkan kosa katanya yang tidak terpilih lagi menyakitkan. Pastilah hidup bersama istri seperti ini sangat sengsara dan tertekan. Berada di rumah tidak nyaman, lebih baik berlama-lama di luar.

Tentunya, kebahagian bagi istri adalah bila punya suami yang shaleh. Sayang dan cinta kepada istri, menjaga dan membimbingnya dengan penuh ikhlas. Memberikan kebutuhannya semaksimal mungkin. Meringankan bebannya dengan dukungan fasilitas yang memungkinkan.

Kebahagian yang *kedua* adalah *rumah yang lapang*. Sebab, rumah yang lapang akan membuat hati menjadi lega. Udara dan oksigen yang berputar di dalamnya juga mencukupi. Kebutuhan masing-masing anggota keluarga akan terakomodasi. Akibatnya pikiran dan ide-ide akan selalu jernih dan terbuka.  Privasi setiap orang juga dapat terjaga. 

Betapa senangnya suasana hati bila dalam kondisi rumah seperti itu. Setiap suami yang baik haruslah terus berusaha sekuat kemampuan untuk mengahdirkan "rumah bahagia" ini bagi anggota keluarganya.

Sebaliknya, adalah *sebuah kesengsaraan* bila tinggal di rumah yang sempit. Suasana menjadi sumpek, ruang gerak menjadi terbatas, privasi tak terjaga, perabotan tak bisa tertata dan juga tidak memadai. Berlama-lama dengan suasana seperti ini tentu akan menjadi beban dan kesusahan.

Kebahagian yang *ketiga* adalah *tetangga yang baik*. Yaitu yang peduli dengan tetangganya, tidak mengganggu dan menyusahkannya. Saling menghormati dan menghargai hak masing-masing, serta menunaikan kewajiban satu sama lain. Ringan tangan dalam membantu dan tanggap akan kebutuhan tetangganya. Bisa dipercaya dan amanah, serta mampu menutupi aib dan kekurangan orang lain.

Bila mempunyai tetangga sebaik ini tentulah akan sangat bahagia. Suasana terasa nyaman dan lingkungan sangat kondusif. Tidak ada rasa ragu, cemas, khawatir apalagi takut bila hidup berdampingan. Bahkan bila hendak bepergian jauhpun, tetangga bisa dipercayakan untuk menjaga rumah (keluarga) yang ditinggalkan.

Sebaliknya, adalah suatu kesengsaraan bila memiliki *tetangga yang buruk.* Yaitu tetangga yang menimbulkan kesusahan, sering mengganggu, tidak peduli kepada sesama dan hanya mementingkan diri sendiri. Bila kita mendapat nikmat, dia cemburu dan iri. Bila kita dapat musibah dan kesusahan, dia justru bahagia. Suka menfitnah, menebar gosip kian kemari, dan lebih sering membuat permusuhan.

Bila hidup bersama tetangga yang seperti ini, pastilah hidup terasa berat, susah dan sengsara. Setiap kali berjumpa atau berpapasan hanya akan mendapatkan muka yang masam atau wajah yang sinis. Jarang bertegur sapa kecuali sekadarnya. Kalaupun bisa berkomunikasi atau berbicara, maka pembicaraan pun tidaklah terasa enak. Tidak jarang akan berakhir dengan perdebatan atau perselisihan.

Kebahagian *keempat* menurut Baginda Nabi SAW adalah *kendaraan yang nyaman.* Yaitu yang memudahkan urusan pengendaranya. Memberikan kenyamanan, menyampaikan ke tujuan dengan selamat dan lancar, sesuai dengan harapan. Kenyamanannya bukan karena mahalnya harga, akan tetapi karena pengendaranya tidak merasa susah dan letih di atasnya. Apalagi bila kendaraan itu adalah sarana untuk meluaskan dakwah, menopang perjuangan amar makruf dan nahi mungkar.

Sebaliknya bila kendaraan itu menyusahkan, membuat pengendaranya menjadi letih dan sulit, berakibat gagalnya banyak agenda dan pekerjaan, maka itu tentunya sebuah *kendaraan yang buruk.*

Adalah suatu yang mubah dalam agama bila seorang mukmin memiliki kendaraan yang nyaman, yang memudahkannya untuk beramal shaleh dan berdakwah di jalan Allah. Nabi Shallallahu alaihi wasallam memiliki kendaraan-kendaraan (tunggangan) pilihan di zamannya, yang cepat larinya dan tangguh dibawa berjuang. Baik berupa kuda maupun onta dan beghal. Bahkan Beliau memiliki tunggangan yang baik lebih dari satu.

Wallahu A'laa wa A'lam.

Senin, 08 Januari 2018

LIMA SEBELUM LIMA

Oleh: Irsyad Syafar, Lc., M.A

Nikmat itu baru terasa kalau sudah tidak ada. Kalau masih ada atau masih di tangan, sering terlupakan. Kalau sudah habis atau hilang, timbullah kerisauan dan angan-angan. Seandainya begini, seandainya begitu....

Bila kita tidak ingin menyesal, maka manfaatkanlah segala nikmat - selama masih ada - untuk kebaikan. Bila kita ingin rasa memiliki nikmat itu semakin kuat, maka tengok dan perhatikanlah orang yang telah kehilangannya, di saat kita masih punya.

Ada limat nikmat yang disebut khusus oleh Rasulullah saw:

*Pertama, Masa dan usia muda.* Adalah nikmat yang sangat berharga dari Allah. Di saat masih muda, berbagai potensi dan kemampuan Allah berikan. Tenaga, semangat, daya juang, daya tahan, obsesi dan sebagainya, sangat kuat dan maksimal di saat masih muda. Ingin berbuat apa, ingin bekerja apa, ingin pergi kemana, ingin merancang apa dan sebagainya, masih sangat mungkin direalisasikan.

Kalau ingin terasa betapa masa muda itu adalah nikmat yang mahal, kunjungilah orang yang sudah tua. Banyak hal yang dia sudah tidak mampu dan tidak kuat melakukannya. Tenaga sudah jauh berkurang, kulit sudah keriput, daya tahan untuk lama-lama bekerja sudah menipis, pandangan dan pendengaran juga melemah, dalam banyak hal akan bergantung pada pertolongan orang lain. Sudah sulit diajak berjalan cepat, apalagi berlari kencang.

*Kedua, Nikmat sehat.* Itu adalah nikmat yang sangat berharga. Dengan nilai berapapun orang mau menebusnya. Sebab, dengan kesehatan orang terbebas dari banyak halangan, pantangan dan rintangan. Sayangnya, pepatah arab mengatakan, "kesehatan itu adalah mahkota di atas kepala orang yang sehat. Tidak banyak yang melihatnya kecuali orang yang sakit".

Kalau kita betul-betul ingin merasakan betapa nikmatnya sehat itu, kunjungilah (lihatlah) orang yang sakit. Apalagi orang yang kita kenal dahulunya energik, aktif, penuh kerja dan karya. Saat dia sudah terbaring tak berdaya, fisiknya sudah berubah, tenaga sudah sangat berkurang, bahkan mungkin pasrah dengan "taqdir" Allah, saat itulah kita akan mengakui nikmat pemberian Allah yang bernama sehat.

Tidak jarang karena jenis penyakit tertentu, banyak nikmat yang menjadi hilang, padahal kita mampu memilkinya. Bila sudah darah tinggi terlaranglah sebagian makan. Bila sudah tinggi kolestrol, terhalanglah dari berbagai makanan. Bila sudah kena sakit gula, maka berkuranglah nikmat sebagian makanan. Dan banyak lagi pantangan-pantangan lain.

*Ketiga, Nikmat kaya* atau berpunya, juga merupakan nikmat yang sangat besar dari Allah. Dengan kekayaan seseorang bisa berbuat dan melakukan banyak hal. Apalagi kalau orangnya shaleh dan taat kepada Allah. Ia bisa beribadah dengan baik, pergi haji dan umrah, berinfaq dan bersedekah, membangun masjid dan lembaga pendidikan, membantu orang lain yang dalam kesulitan. Terpikir hendak berinfaq, langsung bisa dieksekusi. Terangan-angan ingin membantu orang lain, langsung dapat direalisasikan.

Bila kita ingin lebih merasakan nikmatnya kekayaan itu, maka kunjungilah orang yang tidak punya (faqir miskin) disaat kita punya. Duduklah sejenak bersamanya, melihat dan mendengar "deritanya". Dengarkan harapan dan angan-angannya, agar kita ikut bersamanya dalam suasana "ketidakmampuan". Paling tidak, kita akan semakin bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmatNya.

*Keempat*, sangat mahal harganya *nikmat lapang*. Dimana kita punya waktu memadai untuk mengerjakan sesuatu, menuntaskan tugas-tugas, menunaikan janji dan amanah, memenuhi permintaan orang lain dan sebagainya.

Kalau kita ingin merasakan betul nikmatnya waktu lapang, datangilah orang yang sangat sibuk dan padat agenda. Terutama yang sudah "kepepet" dengan jadwal penyelesaian tugas. PR belum selesai, skripsi belum tuntas, kerjaan kantor menumpuk, hutang jatuh tempo dan sebagainya, sementara waktu sudah sangat kasib.

Dalam kondisi tersebut biasanya banyak tugas yang terabaikan, kualitas kerja yang sangat rendah dan kadang asal-asalan. Jangankan yang sunat, yang wajib-wajib pun kadang jadi tertinggal. Birrul walidain tak jalan, silaturrahim macet, janji-janji terkendala dan lain sebagainya.

Yang *kelima*, nikmat yang paling sering kita lupakan adalah *nikmat hidup*. Saat masih hiduplah kita bisa menambah tabungan akhirat, pundi-pundi amal shaleh dan peluang-peluang tingginya derajat di sisi Allah. Kalau sudah mati, berakhirlah semuanya, kecuali yang memang sempat "diinvestasikan" saat masih hidup.

Bila kita ingin terus merasakan nikmatnya hidup, maka kunjungilah orang yang baru saja wafat. Lihatlah jasadnya yang sudah tak berdaya, pasrah menunggu proses-proses terakhir di dunia. Berikutnya jalan panjang di akhirat yang tak ada lagi amal, tinggal pembalasan. Pastilah begitu banyak rencana, obsesi, keinginan dan cita-cita yang belum kesampaian. Karena memang, obsesi (angan-angan) seseorang selalu saja melampui batas-batas ajalnya.

Bila lima hal tersebut kita coba mengamalkannya, tentu akan kita pahami kenapa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh kita untuk menggunakan yang lima sebelum datangnya yang lima:

عن بن عباس رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لرجل وهو يعظه : " اغتنم خمسا قبل خمس شبابك قبل هرمك وصحتك قبل سقمك وغناءك قبل فقرك وفراغك قبل شغلك وحياتك قبل موتك".

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, "Manfaatkanlah yang lima sebelum datangnya yang lima: Masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum faqirmu, lapangmu sebelum sempitmu, dan hidupmu sebelum matimu." (HR Hakim, dishahihkan Albani).

Wallahu A'laa wa A'lam.

Aliran Mujassimah

Pertanyaan:

Assalamualaikum. Ustadz yth. Bisa dijelaskan tentang kesesatan aqidah mujassimah? Apakah benar ada yang menyebutkan bahwa salafiy saat ini adalah wajah barunya?? 
Jazakallah

Jawaban:

Mujassimah adalah salah satu aliran atau pemahaman yang menggambarkan Allah seolah-olah mempunyai tubuh, seperti punya tangan, punya wajah, punya kaki, dsb. Misalnya ada ayat YADULLAH FAWQO AIDIHIM artinya tangan Allah di atas tangan mereka. Dari ayat ini dipahami bahwa Allah punya tangan. Ayat lain KULLU MAN 'ALAIHA FAN WA YABQO WAJHU ROBBIKA ZUL JALALI WAL IKROM (semua yang ada ini akan hancur/ lenyap dan yang akan kekal abadi hanya lah WAJAH Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan). Dari ayat ini dipahami bahwa Allah punya Wajah. Pemahaman seperti ini bertentangan dengan ayat WA LAM YAKUN LAHU KUFUWAN AHAD (tidak ada satupun yang serupa dengan Allah). Dan juga ayat LAISA KAMITSLIHI SYAI'UN (tidak ada satupun yang serupa/ sama dengan Allah). Ayat yang menjelaskan bahwa Allah punya Tangan, punya Wajah dsb disebut ayat ayat Mutasyabihat. Bagi Ahlu Sunnah wal Jama'ah, ayat-ayat itu dipahami dan diyakini saja bahwa Allah punya wajah, punya tangan. Tetapi tidak boleh dipertanyakan lebih jauh seperti apa tangan Allah, berapa besar tangannya, Jarinya, berapa besar wajah Allah (Bi La Kaifa). Bagi Mu' tazilah ayat-ayat Mutasyabihat itu ditakwil, dialihkan maknanya. Maka Tangan Allah di atas tangan mereka, artinya KEKUASAAN ALLAH DI ATAS KEKUASAAN MEREKA. Semua yang ada ini akan hancur dan yang kekal hanya Wajah Allah, maksudnya yang akan Kekal hanya Dzat Allah, artinya Allah itu sendiri yang kekal abadi. Wallahu A'lam.

Ustadz Dr. Mukhlis Bahar. Lc. MA

Tambahan jawaban dari DR. Jon Pamil , Ketua Ikadi Riau

Dr. H. Jon Pamil, MA (Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau, ketua umum IKADI Riau, wakil ketua devisi Kominfo MUI Riau)

بسم الله الرحمن الرحيم
Mujassimah adalah sebuah firqah yang menyimpang dari aqidah Islam.Tokoh awalnya adalah seorang Rafidha bernama Hisyam bin al-Hakam, yang mengatakan bahwa Allah punya fisik dengan sifat dan kadar tertentu. Fisik Allah sama antara lebar dan tingginya, punya warna punya rasa, bercahaya seperti mutiara bundar.

Adapun dalam tubuh ahlussunnah wal jama’ah, memang terjadi juga perbedaan pendapat dalam menyikapi ayat-ayat tentang sifat khabariyah (sifat-sifat Allah yang hanya bisa diketahui melalui khabar yang benar yaitu al-Qur’an dan sunnah), seperti wajah, tangan, mata, berada di langit, bersemayan (istiwa’), datang, turun dan sebagainya yang dinisbahkan kepada Allah. 
Kelompok Atsary/ahlul hadits, menetapkan makna zahir dari sifat-sifat tersebut secara hakiki, sehingga Allah mempunyai wajah, tangan, mata, berada di langit, bersemayan diatas ‘Arasy, turun setiap sepertiga akhir malam serta datang bersama malaikat di hari kiamat nanti. Namun bagaimananya (al-kaif) diserahkan kepada Allah. Jadi Allah punya wajah secara hakiki namun bagaimana wajah Allah tidak diketahui, Allah bersemayan di atas Arasy secara hakiki, namun bagaimana bersemayamnya tidak diketahui. Kaedah ini (balkafah) diambil dari jawaban Imam Malik terhadap pertanyaan seseorang terkait bersemayamnya Allah, yaitu bahwa makna bersemayan itu diketahui (ma’lum) tetapi caranya (alkaif) tidak diketahui (Majhul). Diantara ulama yang menganut faham seperti ini adalah Imam Ahmad, Imam Ibnu Mandah, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dan sebagainya.

Sedangkan kelompok Asy ’ariah mutaakhkhirah (pengikut Asy’ari belakangan) punya pendapat bahwa ayat-ayat tersebut tidak boleh difahami zahirnya. Mereka berpendapat bahwa para salaf menyerahkan makna-makna ayat tersebut kepada Allah (tafwidh), dan cara ini mereka anggap lebih selamat (aslam). Namun mereka juga menempuh cara khalaf yaitu dengan mentakwil makna ayat-ayat tersebut. Wajah ditakwil dengan keridhaan, tangan dengan kekuasaan, mata dengan pengawasan, istiwa’ dengan bersemayamnya kekuasaan, turun ke langit dunia ditakwil dengan turunnya ramat Allah, datangnya Allah di hari kiamat dengan datangnya perintah Allah. Mereka menganggap cara ini lebih mantap (ahkam). Diantara ulama yang berfaham seperti ini adalah Imam al-Ghazali, Imam Arrozi, dan sebagainya.

Nah, yang dianut oleh kawan-kawan yang dijuluki salafi sa’at ini adalah mazhab ahlul hadits atau Atsari ini. Ini bukan mazahab menyimpang dan bukan pula mujassimah. Dua kelompok besar ini merupakan realita dalam tubuh sunni. Perbedaan ini bukan perbedaan baru, namun sudah sejak puluhan abad yang lalu. Kita yang hidup di zaman ini mestilah mengedepankan objektifitas dan menjauhkan diri dari ta’ashshub dan taqlid buta. 

Kalau kita mau merujuk pada salaf (sahabat dan tabi’in) dalam memahami ayat-ayat sifat khabariyah tersebut dengan merujuk pada tafsir bilma’tur semisal Aththabary, Al-Baghawi bahkan tafsir Imam Suyuthi yang bernama Addurul mantsur Fi Attafsir bi al-Matsur, kita akan tahu betapa lempangnya pemahan salaf terkait ayat-ayat ini. Mereka berta’amul dengannya sesuai dengan konteksnya. Karenanya kadang mereka mentakwil semisal wajah yang ada dalam surat al-Baqarah 115 dengan kiblat, wajah yang terdapat dalam ayat-ayat yang konteksnya zakat, infaq dan shadaqah dengan keridhaan, mata dengan pengawasan karena konteksnya perintah Allah terhadap nabi Nuh untuk membuat sampan. Tapi mereka juga meng itsbat (menetapkan makna lahir) seperti keberadaan Allah dilangit, bersemayamnya Allah serta datangnya Allah di hari kiamat. NAMUN TAKWIL MEREKA TIDAK MENTA’THIL (MENAFIKAN SIFAT), DAN ITSBAT MEREKA TIDAK MENTAJSIM DAN MENTASYBIH. Mereka pahami secara global dan tidak berdebat menghabiskan energi disitu. Mereka sibuk berjihad, berdakwah dan membangun keilmuan dan peradaban.  

Terkait dalam masalah akidah ini, menarik juga kalau kita memperhatikan manhaj ulama-ulama kontemporer yang menawarkan beberapa hal, diantaranya :
1.      Bahwa dua kelompok sunni ini realitas yang tak bisa dipungkiri, dan kedua mazhab ini dianut oleh ulama-ulama besar dengan keilmuan yang mumpuni. Karenanya kalau memang kita berbeda dan belum bisa disatukan, maka janganlah perbedaan itu menyebabkan kita terus menerus saling serang diantara kita. Mari arahkan energi kita pada musuh hakiki kita yang memang menginginkan kita terus dalam perselisihan. Mari arahkan energi kita untuk mengerjakan proyek-proyek kebangkitan umat.

2.      Bahwa manhaj al-Qur’an dalam menanamkan akidah sangat halus dan lembut, lebih lembut dari angin sepoi-sepoi. Allah memperkenalkan dirinya baik nama-nama maupun sifat-sifatnya dengan pernyataan-pernyataan datar dalam al-Qur’an, lalu mengarahkan manusia untuk membuktikannya pada ayat-ayat kauniyah yang ada dalam alam semesta ini. Keberadaan Allah, keesaanNya, ilmuNya yang sempurna, kekuasanNya, sifat kasih sayangNya akan terbaca dan terbukti melalui penelitian terhadap ayat-ayat Allah di alam semesta ini. Dengan demikian iman akan meningkat, teknologi akan terkuasai. Ayat-ayat sifat khabariyah jumlahnya hanya puluhan, sementara ayat-ayat kauniyah jumlahnya ratusan. Diantara kitab-kitab yang ditulis oleh ulama kontemporer dalam masalah akidah dengan pendekatan ini adalah kitab Allah Jalla Jalaluhu karya Sayyid Hawwa, Kitab Attauhid wa al-i’ijaz al’Ilmi fi al-Quranu al-Karim karya Syekh Abdul majid ‘Aziz Azzindani dan lain. Syekh Muhammad al-Ghazalili mengatakan, seandainya generasi salaf itu hidup dalam aliran yang suka berdebat, maka takkan ada satu negeripun bisa mereka tundukkan dan tak ada satu dadapun yang bisa dimasuki iman.

3.      Khazanah atau turats yang sangat banyak dalam masalah ini, bukan berarti tidak berguna, ianya sangat berguna dijadikan sebagai bahan kajian oleh para peneliti. Namun tidak semuanya cocok jadi konsumsi masyarakat awam. Perdebatan yang tajam (saling tabdi’, tafsiq, takfir) sangat tidak elok bila terus menerus diwariskan. Biarlah itu sejarah masa lalu yang tidak pantas dipikulkan pada generasi sekarang ini.

Terakhir saya ingin menyampaikan, dua hal :
1.      Kita mesti hati-hati betul menyikapi perbedaan dikalangan sunni ini, sebab kelompok syi’ah sangat pandai memanfa’atkannya untuk melemahkan kita.

2.      Jangan lupa salah satu aspek akidah yang juga sangat penting adalah al-Wala’ wa al-Barra, yang Nabi menyebutnya sebagai tali perekat umat paling kuat (Aqwa ‘ural Ummah). Nah jangan sampai gara-gara perselisihan dalam masalah ini kita memutus yang kuat ini. 

Wallahu a’lam bishshawab.
Pekanbaru, 05 November 2017

Penambahan Ongkir

Pertanyaan:

Sebagai pedagang online, bolehkah hukumnya melebihkan ongkir sebagai keuntungan? Misal, ongkir oleh ekspedisi tertentu 25 rb, maka kita lebihkan menjadi 30 rb atau 35 rb, kelebihan ongkir 5 rb atau 10 rb itu adalah termasuk keuntungan kita.
Bagaimana hukumnya ustadz, Bolehkah?
Terimakasih sebelumnya ustadz..

Jawaban:

Kaedah umum menyatakan AL-ASHLU FIL MU'AMALAH AL- IBAHAHH ILLA MA DALLAD DALILU 'ALA TAHTIMIHA, artinya hukum asal pada bidang Muamalat adalah mubah artinya semua bentuk interaksi sosial adalah boleh kecuali ada dalil lain dari  mengharamkannya. Mengambil untung (al-Ribhu/profit) hukumnya boleh termasuk mengambil ongkos kirim. Jika ongkirnya 35 ribu kita tambahkan juga laba disitu mungkin biaya membungkus dan mengantar ke Tiki lalu ongkirnya jadi 50 ribu hukumnya boleh asalkan dalam jumlah yang wajar dan masuk akal (patut, pantas, layak dan orang lain tidak merasa tertipu).

Wallahu a'lam

Ustadz Dr. Mukhlis Bahar. Lc., MA

Tentang kata Sayyidina

Pertanyaan:
Mau tanya ustadz, tentang dalil yang menjelaskan tidak memakai "sayyidina" pada bacaan shalawat di tahiyyat akhir dalam shalat. Soalnya ada teman-teman ana dari kecil sudah terbiasa memakai bacaan tersebut, hingga susah di ubah. Dan ana juga mau menyampaikan pada mente ana ustadz syukron Jazakallah...


Jawaban:
Di Indonesia ada kelompok yang seolah-olah mewajibkan menggunakan kata "SAYYIDINA" sebelum menyebut nama Nabi MUHAMMAD (harus membacanya Sayyidina Muhammad) bahkan ditambah dengan Sayyidina wa Habibina wa Syafi'ina wa Maulana Muhammad. Kelompok yang berpaham seperti itu misalnya Nahdhiyin (NU). Sebaliknya ada kelompok yang seolah-olah mengharamkan penggunaan kata Sayyidina di depan kata Muhammad. Katanya dalam Al- Qur'an ada nama surat Muhammad. Tidak disebut surat SAYYIDINA MUHAMMAD. Kelompok yang berpaham seperti ini misalnya Muhammadiyah dan Salafi. Namun di dalam shalat ketika membaca shalawat sebaiknya tidak pakai Sayyidina. Karena hadist-hadist tentang shalawat umumnya tidak ada yang pakai Sayyidina. Tapi di luar shalat boleh saja pakai Sayyidina wa habibina wa maulana Muhammad. Ada dua hadis yang seolah-olah bertentangan. Yang pertama berbunyi ANA SAYYIDUL ANBIYA' WA LA FACHAR (saya ini penghulu segala Nabi, bukan nyombong). Sebaliknya hadist lain LA TUSAYYIDUNI (Jangan kau panggil aku dengan kata sayyid). SEJAUH MANA kualitas hadist ini perlu diteliti dan ditanya pada Ahlul Hadist. Wallahu A'lam

Ustadz Dr. Mukhlis Bahar. Lc., MA

Minggu, 07 Januari 2018

KAEDAH DAKWAH 1: QUDWAH SEBELUM DAKWAH

Oleh: Ustadz Irsyad Syafar, Lc., M.Ed

DAKWAH SUATU KEMESTIAN

Tidak bisa dibayangkan seperti apa kondisi kaum muslimin tanpa para da'i di tengah-tengah mereka. Pastilah mereka akan terombang-ambing kian kemari, disambar para syetan dari kalangan jin dan manusia. Karena itulah Allah menghendaki adanya da'i yang menjadi sumber cahaya saat kegelapan, memberi petunjuk ke jalan kebenaran, memimpin umat dalam kebaikan, membebaskan mereka dari kesesatan berfikir, penyimpangan dalam keyakinan dan kerusakan dalam mengabdi kepada Allah. Para Nabi dan Rasul semua adalah da'i di jalan Allah. Dan Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam adalah pemimpin para Da'i sampai akhir zaman.

Allah ta'alaa berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا. وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا.

Artinya: "Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan untuk jadi penyeru (Da'i) kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi." (QS Al Ahzab: 45-46).

Dan siapapun yang beriman yang mengaku sebagai pengikut Nabi Shallallahu alaihi wasalam, adalah berkewajiban mengemban amanah untuk berdakwah di jalan Allah. Sebagaimana Allah tegaskan:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Artinya: Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, mengajak (menyeru) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS Yusuf: 108).

Allah Ta'ala ingin menegakkan hujjah (alasan) kepada hamba-hambaNya dengan mengutus seorang Rasul dari jenis yang sama dengan objek dakwah. Yaitu sama-sama manusia, bukan dari kalangan malaikat. Agar manusia tidak beralasan nanti bahwa mereka tidak mampu beriman seperti Rasul disebabkan perbedaan jenis.

QUDWAH PILAR UTAMA DAKWAH

Rasul sebagai utusan Allah sekaligus sebagai Da'i yang jenisnya sama dengan kaumnya, sama-sama makan dan minum, tidur dan bangun, berjalan di pasar dan sebagainya, dijadikan qudwah (teladan atau prototipe) bagi kaumnya. Ketika masa kenabian telah berakhir, maka para ulama (juga para Da'i) yang menempati posisi (qudwah) tersebut. Sebab, kebanyakan manusia tidak bisa memisahkan antara dakwah dan da'i. Sebagaimana juga tidak bisa dipisah antara Rasul dan risalahnya. Karena sesungguhnya Islam adalah Dakwah dan Da'i sekaligus. Si pembawa dakwah harus mencerminkan dakwah yang dibawanya.

Nabi Shallallahu alaihi wasallam selaku Da'i kepada Allah, telah mengajarkan posisi keteladanan ini kepada sahabat-sahabatnya dan umat keseluruhan. Beliau adalah qudwah bagi setiap ayah, suami, teman, pendidik, murabbi, panglima, pemimpin, politisi, negarawan dan sebagainya. 

Nabi Shallahu alaihi wasallam mengilustrasikan posisi dirinya dalam hadita yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

 أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ فَجَعَلَنِي فِي خَيْرِهِمْ فِرْقَةً ، ثُمَّ جَعَلَهُمْ فِرْقَتَيْنِ فَجَعَلَنِي فِي خَيْرِهِمْ فِرْقَةً ، ثُمَّ جَعَلَهُمْ قَبَائِلَ فَجَعَلَنِي فِي خَيْرِهِمْ قَبِيلَةً ، ثُمَّ جَعَلَهُمْ بُيُوتًا فَجَعَلَنِي فِي خَيْرِهِمْ بَيْتًا ، وَخَيْرِهِمْ نَسَبًا " . قَالَ أَبُو عِيسَى : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ.

Artinya: "Saya adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, maka Dia jadikan aku sebaik-baik kelompok. Lalu Dia jadikan dua kelompok, maka aku adalah kelompok terbaik. Lalu Dia ciptakan manusia berkabilah-kabilah, maka aku adalah kabilah yang terbaik. Lalu Dia jadikan manusia berumah-rumah, maka aku adalah rumah yang terbaik dan nasab yang terbaik." (HR Tirmidzi, hasan).

Maka Beliau shallallahu alaihi wasallam seorang hamba yang khusyuk beribadah, suami yang penyayang kepada istri dan keluarga, ayah yang lemah lembut kepada anak-anaknya, teman yang setia kepada sahabatnya, panglima yang tangguh dalam perang, pemimpin yang kuat dalam memimpin dan penguasa yang adil kepada rakyatnya. Begitulah Allah mengkondisikan karena Qudwah (keteladanan) merupakan tonggak utama keberhasilan dakwah.

QUDWAH SENJATA UTAMA ISHLAH

Pepatah arab menyatakan "yang tidak punya apa-apa tidak akan bisa memberi apa-apa (فاقد الشيء لا يعطي). Takkan bermakna dakwah orang zhalim yang mengajak berbuat adil. Takkan ada pengaruh dakwah orang yang hidup mewah yang mengajak hidup sederhana. Takkan bernilai dakwah si pembohong yang mengajak orang lain berkata jujur. Dan tak ada  gunanya dakwah orang yang menyimpang bila mengajak orang lain untuk istiqamah.

Prinsip "mulai dari dirimu" adalah kunci keberhasilan dakwah. Tegakkanlah "negara Islam" dalam dirimu dan keluargamu, niscaya ia akan tegak dan hadir disekitarmu.

Islam tidak melarang seorang mukmin memiliki kendaraan yang bagus, pakaian yang bagus, harta kekayaan yang banyak, aroma parfum yang wangi dan pernak-pernik kekayaan dunia lainnya yang halal.

Namun, bila seorang da'i yang memiliki kekayaan seperti itu, saat ia berdakwah di depan khalayak ramai yang terdiri dari orang-orang kaya dan miskin, lalu ia berbicara tentang hidup sabar, tabah, qana'ah dengan rezki Allah dan hal lain yang semakna. Tentulah itu akan sangat mengiris hati kaum faqir miskin dan dhu'afa yang hadir di sana.

Kenapa demikian? Karena pembicaraan seperti itu tidak sejalan dengan kondisi dan realita si da'i yang berbicara. Sang da'i mungkin sangat memahami makna sabar, tabah dan qana'ah (secara teoritis). Tapi, kaum faqir miskin tidak saja sekedar paham. Justru mereka lebih merasakan dan mengalami apa itu sabar, tabah dan qana'ah. Itulah "makanan" mereka sehari-hari. Akan lebih mengena apabila sang Da'i menyampaikan seruan sikap dermawan, pemurah, peduli dan berbagi kepada para aghniya' (orang-orang kaya). Bila perlu, disampaikan dengan lebih tegas dan kuat. Dan kemudian langsung memberikan qudwah (contoh teladan) kepada mereka.

Islam memang adalah agama damai dan keselamatan. Mengajarkan kasih sayang kepada sesama dan menebarkan rahmat bagi semesta alam. Namun, akan terasa rancu jadinya, bila seorang Da'i berbicara perdamaian, mengajak umatnya untuk menebar kasih sayang, sementara di negeri itu umat Islam lagi ditindas, para ulama di penjara dan dipinggirkan, aktivitas keislaman dibelenggu oleh para penguasa. Harusnya pada kondisi itu seorang Da'i menyeru penguasa untuk menghormati para ulama, menghentikan penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap umat.

Orang yang berkata tidaklah sama dengan orang yang berbuat. Dan orang yang berbuat juga tidak sama dengan orang yang berjuang (berjihad). Dan orang yang berjuang juga tidak sama dengan orang yang terus kokoh dan bertahan dalam perjuangannya sampai mendapatkan salah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid dalam kebenaran.

Qudwah (keteladanan) dalam dakwah adalah dakwah itu sendiri. Memperbaiki dan merubah dengan keteladanan, jauh lebih ampuh dan lebih bermakna. "Perbuatan satu orang dihadapan seribu orang, jauh lebih berpengaruh dari pada perkataan seribu orang dihadapan satu orang".

Perjalanan panjang dakwah Rasulullah saw dan para sahabat Beliau yang mulia, penuh dengan keteladanan. Tidak sedikit kemenangan dakwah terwujud karena adanya keteladanan. Orang-orang berduyun-duyun masuk Islam karena melihat dan merasakan qudwah pada diri Rasulullah saw. Begitu juga kemenangan Islam (futuhat Islamiyah) diberbagai negeri dan negara, dapat diraih karena mereka melihat qudwah pada diri para sahabat dan pejuang-pejuang Islam. Bahkan Islam masuk ke kawasan Asia Tenggara tanpa pedang dan peperangan. Qudwah yang ditampilkan oleh para saudagar yang berinteraksi dengan penduduk setempat telah memikat hati mereka. Sehingga mereka masuk Islam secara suka rela.

SIFAT UTAMA SEORANG DA'I

Agar seorang da'i dapat menjadi qudwah bagi umat dalam dakwahnya, maka hendaklah ia menghiasi dirinya dengan beberapa sifat (karakter) utama, diantaranya:

1.       Keimanan yang mendalam dan Aqidah yang lurus.
Hal ini diwujudkan dengan merealisasikan rukun iman yang enam dalam hati dan keyakinan. Seorang da'i mesti menjauhkan diri dari hal-hal yang akan menjatuhkannya kepada perbuatan syirik. Disamping itu, dalam kesehariannya ia memiliki hubungan yang sangat kuat dengan Allah, yang diaplikasikan dalam ibadahnya yang terjaga (kualitas maupun kuantitas), baik shalat, puasa, sedekah, tilawah, dan ibadah mahdhah lainnya. Sebab, ibadah yang baik merupakan salah satu indikator keimanan.

2.       Bersifat Amanah, dapat dipercaya.
Ini merupakan sifat yang sangat mendasar bagi para Da'i di jalan Allah. Kebanyakan Nabi dan Rasul dimuliakan Allah dengan sifat ini. Nabi Nuh, Hud, Shaleh, Luth, dan Syu'aib dinyatakan sebagai Rasuulun amiin (Rasul yang amanah) dalam Surat Asy Syu'ara. Nabi Yusuf dipuji Allah dengan Hafizhun 'Aliim. Hafizh itulah yang amanah. Nabi Musa juga disebut Allah sebagai seorang yang kuat lagi amanah (Al qawwiyul amiin). Begitulah, keberhasilan dakwah para Nabi ditopang dengan sifat mereka yang amanah.

3.       Ash Shidqu (benar dan jujur) dalam dakwahnya.
Mulai dari Shidqul Lisan (benar dalam ucapan), shidqun niyah (benar dalam niat/motivasi), shidqul 'azmi (benar dalam tekad), shidqul wafa' wal 'ahdi (benar dalam kesetiaan dan janji), sampai kepada shidqul amal (benar dalam amal). Allah memuji hamba-hambanya memiliki sifat ash shidqu ini:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

Artinya: "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)". (QS Al Ahzab: 23).

Berkata bohong, tidak ikhlas kepada Allah, tidak konsisten dalam kerja, sering mangkir dari kerja dakwah dan perjuangan, mengejar popularitas dan balasan dunia, semua itu merupakan indikasi hilang (lemahnya) ash shidqu dalam dakwah.

Seorang pujangga arab menyatakan (yang artinya):

Jika rahasia dan nyata dalam diri mukmin itu sama...
Maka dia mulia di dua kampung dan berhak mendapat puja...

Jika yang nyata menyelisihi  yang rahasia...
Maka tidak ada baginya melainkan susah dan nestapa...

4.       Penyayang, lemah lembut dan santun.
Ini juga merupakan sifat utama seorang da'i. Sebab, seorang da'i tugasnya adalah mengajak bukan menghukum. Allah Ta'alaa menyebutkan tentang pribadi Rasululah saw:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Artinya: "Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS At Taubah: 128).

Dalam ayat lain Allah nyatakan:

 فبِما رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ.

Artinya: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS Ali Imran: 159).

5.       Sabar dalam menjalankan dakwah.
Sebab jalan dakwah adalah jalan panjang, tidak terukur dengan umur seorang da'i. Jalan dakwah adalah jalan yang penuh cobaan dan ujian. Bukan jalan kesenangan dan kepuasan. Dijalan ini para Nabi, para Shiddiq, para Syuhada dan orang-orang shaleh telah merasakan berbagai penderitaan. Pembunuhan, penyiksaan, fitnah, celaan, penjara, pemboikotan dan berbagai kesusahan/keletihan telah dialami oleh da'i-da'i awal dari para Nabi dan Rasul. Tentulah takkan ada kemudian, da'i yang senang saja dalam dakwahnya. Allah berfirman:

وَلَقَدْ كُذ

ِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّىٰ أَتَاهُمْ نَصْرُنَا ۚ وَلَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ۚ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ.

Artinya: "Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu." (QS Al An'am: 34).

Wallahu A'laa wa A'lam.
(Sumber: Ad Dakwah Qawaid wa Ushul)