MUTIARA HIKMAH
IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin
MUTIARA HIKMAH
IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin
MUTIARA HIKMAH
IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin
MUTIARA HIKMAH
IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin
MUTIARA HIKMAH
IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin
Kamis, 15 Februari 2018
Selasa, 13 Februari 2018
SATU JARI YANG DAHSYAT
Oleh: H. Irsyad Syafar, Lc., M.Ed
Siapakah yang tidak kenal dengan Qutaibah bin Muslim Al
Bahiliy. Dialah seorang panglima perang yang sangat terkenal, pemimpin
penaklukan Islam di kawasan Asia tengah pada abad pertama hijriyah. Tabiin yang
mulia ini telah menaklukkan wilayah Khawarizmi, Sijistan, Samarqand, Bukhara
dan sampai ke perbatasan negara Rusia.
Imam Adz Dzahabi menceritakan dalam kitab "Siyar
A'lam An Nubala", ketika Qutaibah memimpin pasukan umat Islam berhadapan
dengan pasukan Attrak, hatinya bergetar melihat pasukan lawan yang sangat
tangguh. Maka dia bertanya kepada pengawalnya, "Dimana Muhammad bin Al
Waasi'?". Para sahabatnya memberi tahu bahwa Muhammad bin Al Wasi' ada di
barisan sayap kanan pasukan.
Maka Qutaibah menoleh ke arah sayap kanan pasukan.
Rupanya disana Muhammad bin Al Wasi' sedang bersiap dengan panahnya. Tapi, jari
telunjuknya menunjuk ke arah langit, dan bibirnya komat-kamit berdoa kepada
Allah.
Seketika itu juga Qutaibah langsung berteriak dengan
keras: "Sesungguhnya satu jari itu lebih aku sukai dari pada seratus ribu
anak panah yang terbang melayang dan seratus ribu pemuda yang berperang".
Dan benar, peperangan itu dimenangkan oleh pasukan
Qutaibah bin Muslim. Dan doa seorang lelaki shaleh lagi mulia, Muhammad bin Al
Wasi' telah membuat kokoh dan kuatnya pasukan dihadapan kekuatan musuh.
Begitulah buah dari hubungan yang sangat baik dan kuat
antara seorang hamba dengan Rabbnya. Yaitu kemenangan dalam setiap perjuangan.
Bahkan satu jari sekalipun bisa jauh lebih kuat dari pada seratus ribu
pasukan.
Dalam kerja-kerja dakwah, seorang da'i sangat membutuhkan
pertolongan-pertolongan khusus dari Allah. Sebab, beban dan tantangan dakwah
dari hari ke hari semakin berat. Maka setiap da'i harus membangun hubungan yang
baik dengan Allah, melalui penguatan iman dan peningkatan amal shaleh baik
kualitas maupun kuantitas.
Seorang da'i tidak boleh menyepelekan doa dan ibadah yang
dia lakukan kepada Allah. Bisa jadi dari situ Allah mendatangkan
pertolonganNya. Tidak saja kepada dirinya, bahkan bisa kepada kerja-kerja
dakwah kolektif bersama para da'i lainnya. Dan bisa jadi itu terjadi dari orang
biasa-biasa saja.
Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ
مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ
لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ
لَأَبَرَّهُ.(رواه البخاري ومسلم)
Artinya: Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah, ada
orang yang kalau dia bersumpah dengan nama Allah, niscaya Allah buktikan
(terjadi)". (HR bukhari dan Muslim).
Wallahu A'laa wa A'lam.
Minggu, 28 Januari 2018
Meng Qadha Shalat
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum ust... Ana ingin bertanya...
Sebenanrnya, sudah lama ana mendngar cerita
ini, tapi kmren, ana kmbali lagi mendengar cerita tersebut yang mengatakan
bahwa "shalat yang tidak dilaksanakan pada waktu muda dulu, harus di
qadha/dignti dengan shalat ketika kita sudah bertaubat"
Pertanyaan inti adalah : apakah ada shalat wajib ini di
qadha?
Misalnya : kita koma agak 2 bulan atau lebih, maka
kita juga akan mengganti shalat kita yang tidak terlaksana tersebut ketika kita
sudah sadar
Bagaimana menurut ustadz?
Yang lebih ana herankan lagi, sumber yang dibcakan oleh
si pencerita kemren adalah, dari ust a*du s**m*…
Mohon bimbingannya ustadz.
(maaf klo bahasa nya gak karuan, mudah2 an bisa di
mengerti)
Jawaban:
Mengqadha shalat wajib yang sudah terlewat waktunya ada
dua macam:
1. Terlewat
karena alasan (udzur) yang syar'i, seperti karena tertidur, terlupa dan dalam
kecamuknya medan jihad.
2. Terlewat
dengan sengaja tanpa alasan yang dibolehkan oleh syara'.
Pertaman; Para ulama semuanya sepakat menyatakan bahwa
Mengqadha shalat wajib yang tertinggal karena alasan syar'i adalah WAJIB.
Hal tersebut ditegaskan dengan dalil-dalil yang sangat kuat.
Dalil-dalil tersebut antara lain, adalah sebagai berikut:
Sabda Rasulullah saw dari Hadits Anas bin Malik:
مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ
إِذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ
لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ وَأَقِمْ
الصَّلاةَ لِذِكْرِي.
Artinya: ”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat
ketika ia ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan shalat tersebut dan
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (HR. Bukhari)
Adapun dalam kecamuk medan jihad, Nabi SAW Mengqadha'
Empat Waktu Shalat Dalam Perang Khandaq.
Rasulullah SAW ketika itu telah terlewatkan 4 waktu
shalat, yaitu Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya. Maka Beliau dan para sahabatnya
melakukan keempat shalat tersebut secara urut setelah waktu isya.
عَنْ نَاِفع عَنْ أَبِي
عُبَيْدَة بنِ عَبْدِ الله
قَالَ : قاَلَ عَبْدُ الله
: إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ
عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ
الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ
اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ
فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ
أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ
أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ
أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ
أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ.
Artinya: Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah
berkata Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah
SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga
malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk
melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat
Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian
iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan
beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i)
Nabi SAW juga Mengqadha Shalat Shubuh karena tertidur
sepulang dari Perang Khaibar:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ : سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ
لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ
لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ
أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلاةِ
. قَالَ بِلالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ
فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلالٌ ظَهْرَهُ إِلَى
رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ
النَّبِيُّ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ
الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلالُ
أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ
مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ
نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ
إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ
حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ
حِينَ شَاءَ يَا بِلالُ
قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاةِ
فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ
وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى
Artinya: Dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya
berkata,”Kami pernah berjalan bersama Nabi SAW pada suatu malam. Sebagian kaum
lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar bersama
kami?” Beliau menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan
shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka mereka pun
berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggangannya. Namun ternyata
rasa kantuk mengalahkannya dan akhirnya Bilal
pun tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun ternyata matahari
sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai Bilal, mana bukti yang kau
ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti
ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang
ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian
sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada
orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau SAW berwudhu, ketika matahari
meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.”
(HR. Al-Bukhari)
Semua dalil2 diatas menunjukkan wajibnya mengqadha shalat
yang terlewatkan karena adanya udzur. Caranya adalah mengqadha langsung ketika
terbangun, atau teringat atau terbebas dari kecamuk perang.
Kedua; Adapun mengqadha shalat wajib yang dutinggalkan
dengan sengaja, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini kepada dua
pendapat besar.
*Pendapat pertama* menyatakan wajib mengqadha, walaupun
habis waktunya untuk melakukan hal itu, walaupun banyak shalat yang
terlewatkan, selama tidak memberatkan. Pendapat ini adalah pendapat Imam 4
madzhab; Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali.
Alasan pendapat ini secara umum didasarkan kepada dalil
hadits di atas yang menyatakan tidak ada kaffarah kecuali qadha. Dan alasan
lain adalah karena kewajiban shalat tidak pernah terhapus bagi seseorang sampai
dia meninggal. Dan kewajiban qadha diqiyaskan kepada yang berudzur.
Imam Ibnu Najim (w. 970 H) salah seorang ulama mazhab
Hanafi, dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq menyatakan:
أن كل صلاة
فاتت عن الوقت
بعد ثبوت وجوبها
فيه فإنه يلزم
قضاؤها سواء تركها عمدا
أو سهوا أو
بسبب نوم وسواء كانت
الفوائت كثيرة أو قليلة
"Sesungguhnya tiap shalat yang terlewat dari
waktunya setelah pasti wajibnya, maka wajib untuk diqadha', baik
ditinggalkannya karena sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang
ditinggalkan itu banyak atau sedikit."
Imam An-Nawawi (w. 676 H) salah satu Ulama rujukan dalam
mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab:
من لزمه صلاة ففاتته
لزمه قضاؤها سواء فاتت
بعذر أو بغيره
فإن كان فواتها
بعذر كان قضاؤها على
التراخي ويستحب أن يقضيها
على الفور
Orang yang sudah wajib hukum shalat baginya, lalu
melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha' shalat tersebut, baik
terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewat karena udzur boleh
mengqadha'nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab."
Adapun *Pendapat yang kedua*, tidak ada qadha bagi yang
meninggalkan shalat dengan sengaja. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama kontemporer Syekh Bin Baz, Utsaimin, Albany
dan Sayyid Sabiq dalam fiqh Sunnahnya.
Alasan pendapat kedua ini antara lain:
1. Kewajiban
shalat itu sudah Allah tetapkan waktunya. Melakukan shalat tidak pada waktunya
dengan sengaja, shalat tersebut tidak sah sama sekali. Dan tidak ada dalil yang
memerintahkan penggantiannya. Berbeda dengan yang ada udzur, ada dalil yg
memerintahkan penggantiannya. Maka otomatis menjadi waktu baru bagi ibadah
tersebut, yaitu waktu saat hilangnya udzur.
2. Kalau
kewajiban shalat masih boleh dikerjakan dilain hari, maka akan tidak artinya
Allah menetapkan batas awal dan batas akhir dari waktu shalat. Mustahil Allah
mensyariatkan yang sia-sia.
3. Kalau
shalat yang ditinggal dengan sengaja masih boleh dikerjakan dihari lain, maka
tidak ada gunanya Allah mengancam neraka wail (kecelakaan) bagi yang telah
melalaikan shalat.
Bagi pelakunya tidak ada pilihan kecuali bertobat dengan
sebenar2nya taubat. Karena dia telah melakukan sebuah dosa besar. Dengan tobat
yang benar, semoga Allah mengampuninya. Dan dia harus memperbanyak amalan
sunnah dan kebaikan untuk memperberat timbangan pahalanya di akhirat.
Syekh Sayyid Sabiq menyatakan bahwa pendapat kedua ini
merupakan pendapat Umar Bin Khattab, Ibnu Umar, Saad bin Abi Waqqas, Salman
Alfarisi, Ibnu Mas'ud, Muhammad bin Sirrin, Umar bin Abdul Aziz dan lain2.
Pendapat kedua ini terlihat lebih kuat dan lebih maslahat.
Agar orang tidak mudah saja melalaikan shalat.
Adapun bagi orang yang gila atau hilang akal dalam jangka
waktu yang lama, tidak wajib baginya qadha shalat sampai dia kembali sadar dan
normal kembali. Hal ini dinyatakan olehhy Imam Az Zuhri, Hasan Al Bashri dan
Muhammad bin Sirrin.
Wallahu A'lam.
Ustadz H.Irsyad Syafar. Lc. M. Ed
Sabtu, 27 Januari 2018
TIGA MASUK SORGA dan TIGA MASUK NERAKA
Oleh: H. Irsyad Syafar, Lc., M.Ed
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah
diberitahu oleh Allah, bahwa ada tiga golongan yang pertama-tama di masukkan ke
dalam sorga dan ada tiga pula yang pertama-tama dimasukkan ke dalam neraka.
Beliau bersabda:
"عُرِضَ
عَلَيَّ أَوَّلُ ثَلاثَةٍ يَدْخُلُونَ
الْجَنَّةَ , وَأَوَّلُ ثَلاثَةٍ يَدْخُلُونَ
النَّارَ , فَأَمَّا أَوَّلُ ثَلاثَةٍ
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ : فَالشَّهِيدُ , وَعَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَحْسَنَ
عِبَادَةَ رَبِّهِ وَنَصَحَ لِسَيِّدِهِ
, وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ ،
وَأَوَّلُ ثَلاثَةٍ يَدْخُلُونَ النَّارَ
: أَمِيرٌ مُسَلَّطٌ , وَذُو ثَرْوَةٍ مِنْ
مَالٍ لا يُعْطِي
حَقَّهُ , وَفَقِيرٌ فَخُورٌ ".
Artinya: "Dipaparkan kepadaku tiga yang pertama
masuk sorga dan tiga yang pertama masuk neraka. Adapun tiga yang paling pertama
masuk sorga adalah: orang yang mati syahid, hamba sahaya yang beribadah dengan
baik kepada Allah dan menasehati (tulus kepada) tuannya, serta orang miskin
yang menjaga kehormatannya (tidak mengemis) walaupun banyak anak-anaknya.
Sedangkan tiga yang paling pertama masuk neraka adalah: Pemimpin yang diktator,
orang kaya yang banyak harta tapi tidak menunaikan hak Allah pada hartanya, dan
orang miskin yang sombong". (HR Turmidzi dan Al Hakim, dari Abu Hurairah).
Hadits di atas menyebutkan terkait orang-orang yang
paling pertama, baik masuk sorga ataupun masuk neraka. Paling pertama disini
bisa mengandung makna memang paling pertama dalam hal yang disebutkan, atau
juga mengandung makna janji yang sangat mulia atau ancaman yang sangat keras
dari Allah.
Sebab, terdapat dalil dari hadits-hadits lain yang
menyebutkan orang-orang lain yang juga paling pertama masuk sorga atau neraka,
tapi tidak ada dalam teks hadits ini.
Maka berdasarkan hadits ini, golongan pertama yang paling pertama masuk sorga adalah orang yang
*mati syahid*. Yaitu orang yang wafat atau terbunuh karena memperjuangkan agama
Allah, atau mati terbunuh di medan pertempuran jihad fiisabilillah. Mereka ini
masuk dalam jenis syahid hakiki, yang jenazahnya dishalatkan tapi tidak
dimandikan, dan tidak dikafani kecuali dengan pakaian yang dia pakai saat mati
syahid.
Kemudian ada lagi orang-orang yang syahid secara hukum,
tapi tidak termasuk syahid hakiki. Mereka tidak diperlakukan sebagaimana syahid
hakiki. Mereka tetap dimandikan, dikafani dan dishalatkan seperti jenazah biasa
lainnya. Mereka mendapat kemuliaan khusus dari Allah, tetapi tidak sampai level
(derjat) syahid hakiki.
Berdasarkan hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Nasai, mereka itu antara lain adalah: "Orang yang wafat karena membela
hartanya, atau karena membela darahnya (jiwanya), atau karena membela
keluarganya".
Kemudian dari hadits lain riwayat Abu Daud dan Nasai dari
Jabir, oran yang juga syahid adalah: "Orang yang mati tenggelam, yang mati
karena sakit perut, yang mati karena kebakaran, yang mati karena tertimpa
bangunan dan perempuan yang mati karena melahirkan."
Kelompok *kedua*
yang paling pertama masuk sorga adalah hamba sahaya yang beribadah dengan
baik kepada Allah dan memberikan nasehat kepada tuannya. Kondisi dirinya yang budak
dan tidak berdaya, tidak menghalanginya untuk dapat melaksanakan ibadah dengan
cara yang terbaik. Disamping itu dia tidak sungkan atau malu untuk memberikan
saran atau nasehat kepada tuannya, sebagai bentuk ketulusannya kepada tuannya.
Sebab, orang-orang yang berada dalam posisi susah apalagi
tidak berdaya, biasanya akan sulit melaksanakan ibadah dengan kualitas
maksimal. Apalagi akan berani pula untuk memberikan nasehat kepada tuannya.
Kedua perbuatan tersebut beresiko besar lagi berat baginya. Tapi dia tetap
melaksanakannya.
Adapun yang
*ketiga,* gololongan yang paling pertama masuk sorga adalah orang yang tak
berpunya (miskin), tapi tidak mau mengemis-ngemis, padahal dia memiliki anak
atau keluarga yang banyak. Orang miskin *terhormat* jenis ini lebih
memilih hidup sangat minimalis dan apa adanya, qana'ah dengan itu, dari pada
menjatuhkan harga diri dengan meminta-minta kepada orang lain.
Dengan himpitan dunia hari ini, ada orang-orang miskin
yang menjatuhkan harga dirinya, meminta kian kemari, kadang berani berbohong
atau menipu, atau bahkan menggadaikan agamanya, demi sesuap nasi.
Sedangkan bagian kedua yang dinyatakan Rasulullah saw
sebagai 3 golongan pertama yang *masuk
neraka* adalah:
*Pertama*
penguasa atau pemimpin yang diktator. Yaitu penguasa yang berlaku semena-mena
kepada rakyatnya, menyusahkan mereka dan memimpin dengan tangan besi.
Di bawah kekuasaannya, rakyat menjadi tertindas,
kemiskinan dimana-mana, banyak kewajiban yang menghimpit sementara hak semakin
terbatas dan berkurang.
Dalam konteks yang semakna, yang menunjukkan betapa
urgennya posisi pemimpin atau penguasa, hadits lain menyebutkan 7 golongan yang
nanti di akhirat mendapat naungan khusus dari Allah, di hari yang tidak ada
sama sekali naungan kecuali naunganNya. Satu dan yang pertama dari 7 golongan
tersebut adalah "Imam (pemimpin) yang adil".
*Kedua* adalah
orang kaya yang tidak menunaikan hak-hak Allah yang ada di dalam hartanya. Ia
tidak menunaikan kewajiban zakat secara baik dan rapi. Kalaupun ia berzakat,
tapi ia tidak tuntaskan dari seluruh harta (nikmat) Allah yang ia terima.
Dibayarkan hanya secara kira-kira saja tanpa hitungan yang detail dan valid
dari total rezeki Allah yang diterimanya.
Disamping itu ia juga tidak menunaikan kewajiban lain
dalam hartanya (diluar zakat). Yaitu berupa pemberian kepada karib kerabat,
anak yatim, orang miskin, para pengemis dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan
Firman Allah yang mengisyaratkan adanya kewajiban lain dikuar zakat, dalam
surat Al Baqarah:
وَآتَى
الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي
الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ
وَفِي الرِّقَابِ...
Artinya: "dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya..." (QS Al Baqarah: 177).
Ditambah lagi dengan pelitnya ia dalam memberikan sedekah
dan infaq-infaq yang sunnah. Allah telah memberikan ancaman dan peringatan
keras bagi orang-orang yang berlaku bakhil (pelit):
الَّذِينَ
يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ
مَا آتَاهُمُ اللَّهُ
مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
Artinya: "Orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang
lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya
kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang
menghinakan". (QS An Nisa: 37).
*Ketiga*
adalah orang miskin yang sombong. Yaitu orang miskin yang tidak punya apa-apa,
tapi bersifat sombong, angkuh dan congkak kepada orang lain. Ini merupakan
akhlak yang sangat tercela. Sebab, ia tidak mempunyai sesuatu yang layak untuk
disombongkan atau dibangga-banggakan kepada orang lain. Dosa orang miskin yang
sombong lebih besar dari pada orang kaya yang sombong.
Semakna dengan ini, juga terdapat hadits shahih yang
menyatakan:
عن أبي هريرة رضي
الله عنه: عن النبي
صلى الله عليه
وسلم قال: ثلاثة لا
يكلمهم الله يوم القيامة،
ولا يزكيهم، ولا
ينظر إليهم، ولهم عذاب
أليم: شيخ زان، وملك
كذاب، وعائل مستكبر. (رواه
مسلم).
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah
saw, Beliau bersabda: "Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah
pada hari kiamat, dan tidak akan disucikan Allah, serta tidak akan dilihat oleh
Allah, dan bagi mereka adzab yang pedih. Yaitu: Orang tua yang berzina, Raja
(pemimpin) yang pembohong, dan orang miskin yang sombong". (HR Muslim).
Semoga kita termasuk dalam 3 golongan yang pertama-tama
masuk sorga.
Wallahu A'laa wa A'lam.
EMPAT KEBAHAGIAAN dan EMPAT KESENGSARAAN
Oleh: H. Irsyad Syafar, Lc., M.Ed
Hal yang paling berpengaruh bagi diri dan hidup seseorang
adalah yang selalu atau sering melekat dengan dirinya. Hal-hal tersebut, bila
menyenangkan maka akan membuat seseorang menjadi bahagia. Sebaliknya, bila
menyusahkan maka akan membuatnya menjadi sengsara.
Adapun hal yang sifatnya sementara, tidak berlama-lama
dan tidak dalam jangka waktu yang panjang, biasanya tidak terlalu berpengaruh
besar dalam bahagia atau sengsaranya seseorang.
Bagi orang yang beriman, pastilah mereka menginginkan
kebahagiaan hidup di dunia dan juga di akhirat. Dan bahagia di dunia itu adalah
suatu yang boleh dan dianjurkan, selama sesuai dengan arahan syariat Allah.
Bahasa Al Qurannya adalah kebaikan (hasanah) di dunia dan kebaikan (hasanah) di
akhirat:
وَمِنْهُمْ
مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ.
Artinya: "Dan di antara mereka ada orang yang
berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (QS Al Baqarah: 201).
Atau dalam bahasa ayat yang lain "hayatan thayyibah" (kehidupan yang
baik):
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ
أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ (97)
Artinya: "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan." (QS An Nahl: 97).
Nabi Muhammad SAW menjelaskan 4 kebahagiaan bagi orang
beriman di dunia dan sekaligus lawannya 4 kesengsaraan.
عن سعد بن أبي
وقاص - رضِي الله عنه
- عن رسول الله - صلى
الله عليه وسلم - أنه
قال: "أربعٌ من السعادة:
المرأةُ الصالحة، والمسكنُ الواسِع،
والجارُ الصالح، والمَرْكَب الهنيء،
وأربعٌ من الشقاء:
المرأة السوء، والجار السوء،
والمركب السوء، والمسكن الضيِّق."
(رواه ابن حبان، والحاكم،
والطبراني والبيهقي، وصححه الألباني).
Artinya: Diriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqash, bahwa
Rasulullah saw telah bersabda: "Empat hal yang termasuk kebahagiaan adalah
Istri yang shalehah, rumah yang lapang, tetangga yang baik dan kendaraan yang
nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan adalah Istri yang buruk
(akhlaknya), rumah yang sempit, tetangga yang buruk dan kendaraan yang tidak
nyaman." (HR Ibnu Hibban, Al Hakim, Thabrany dan Baihaqi, dishahihkan oleh
Albani).
Dari hadits di atas, maka kebahagiaan yang *pertama* adalah *istri yang shalehah*.
Sebagaimana dalam hadits shahih Muslim, Rasulullah saw menyebutkan bahwa istri
yang shalehah itu adalah perhiasan dunia yang terbaik. Ia akan mencintai
suaminya dengan tulus dan ikhlas, setia dan patuh kepadanya, rela dan qana'ah
dengan pemberian suami, menjaga harta suami dan anak-anaknya, serta menjaga
kehormatan dirinya sendiri.
Wanita shalihah itu juga adalah yang apabila suami
memandangnya, suami menjadi senang. Karena ia pandai berhias di depan suaminya,
bertutur kata sopan, memberikan senyum terbaiknya setiap hari. Dan bila suami
menyuruhnya, maka ia akan patuh dan taat kepadanya (selama bukan maksiat),
mengerjakannya dengan penuh penghormatan. Bahkan Rasulullah saw menyatakan
bahwa wanita ahli sorga itu adalah yang penyayang, banyak anak dan lemah
lembut. Malah bila dia dizhalimi maka dia letakkan tangannya di tangan suaminya,
dan dia berkata: "Ini tanganku di tanganmu. Tak akan aku kecap makanan
sebelum engkau redha kepadaku." (HR Daruquthni, dihasankan Albani).
Semua inilah kebahagiaan yang tak ternilai harganya.
Seorang suami pasti akan nyaman berada dan bersama dengan istri yang seperti
ini. Tak lama diluar rumah, ia akan segera ingin kembali. Bila bepergian jauh,
rasa rindunya tak tertahan di hati.
Sebaliknya akan menjadi kesengsaraan dan petaka bila
punya istri yang buruk akhlaknya. Tidak patuh dan tidak setia kepada suami.
Mudah senyum dan ramah kepada lelaki lain, tapi kepada suaminya sendiri justru
ketus, cerewet dan jarang senyum. Ia bisa tampil keluar rumah bagaikan ratu
sejagad, tapi di dalam rumah (saat suami di rumah) dia bagaikan pembantu rumah
tangga yang tidak menarik. Apalagi ditambah dengan tidak amanah dengan harta
suami, tidak sayang kepada anak-anaknya, mudah marah dan emosi, atau bahkan
kosa katanya yang tidak terpilih lagi menyakitkan. Pastilah hidup bersama istri
seperti ini sangat sengsara dan tertekan. Berada di rumah tidak nyaman, lebih
baik berlama-lama di luar.
Tentunya, kebahagian bagi istri adalah bila punya suami
yang shaleh. Sayang dan cinta kepada istri, menjaga dan membimbingnya dengan
penuh ikhlas. Memberikan kebutuhannya semaksimal mungkin. Meringankan bebannya
dengan dukungan fasilitas yang memungkinkan.
Kebahagian yang
*kedua* adalah *rumah yang lapang*. Sebab, rumah yang lapang akan membuat
hati menjadi lega. Udara dan oksigen yang berputar di dalamnya juga mencukupi.
Kebutuhan masing-masing anggota keluarga akan terakomodasi. Akibatnya pikiran
dan ide-ide akan selalu jernih dan terbuka. Privasi setiap orang juga
dapat terjaga.
Betapa senangnya suasana hati bila dalam kondisi rumah
seperti itu. Setiap suami yang baik haruslah terus berusaha sekuat kemampuan
untuk mengahdirkan "rumah bahagia" ini bagi anggota keluarganya.
Sebaliknya, adalah *sebuah kesengsaraan* bila tinggal di
rumah yang sempit. Suasana menjadi sumpek, ruang gerak menjadi terbatas,
privasi tak terjaga, perabotan tak bisa tertata dan juga tidak memadai.
Berlama-lama dengan suasana seperti ini tentu akan menjadi beban dan kesusahan.
Kebahagian yang
*ketiga* adalah *tetangga yang baik*. Yaitu yang peduli dengan tetangganya,
tidak mengganggu dan menyusahkannya. Saling menghormati dan menghargai hak
masing-masing, serta menunaikan kewajiban satu sama lain. Ringan tangan dalam
membantu dan tanggap akan kebutuhan tetangganya. Bisa dipercaya dan amanah,
serta mampu menutupi aib dan kekurangan orang lain.
Bila mempunyai tetangga sebaik ini tentulah akan sangat
bahagia. Suasana terasa nyaman dan lingkungan sangat kondusif. Tidak ada rasa
ragu, cemas, khawatir apalagi takut bila hidup berdampingan. Bahkan bila hendak
bepergian jauhpun, tetangga bisa dipercayakan untuk menjaga rumah (keluarga)
yang ditinggalkan.
Sebaliknya, adalah suatu kesengsaraan bila memiliki
*tetangga yang buruk.* Yaitu tetangga yang menimbulkan kesusahan, sering
mengganggu, tidak peduli kepada sesama dan hanya mementingkan diri sendiri.
Bila kita mendapat nikmat, dia cemburu dan iri. Bila kita dapat musibah dan
kesusahan, dia justru bahagia. Suka menfitnah, menebar gosip kian kemari, dan
lebih sering membuat permusuhan.
Bila hidup bersama tetangga yang seperti ini, pastilah
hidup terasa berat, susah dan sengsara. Setiap kali berjumpa atau berpapasan
hanya akan mendapatkan muka yang masam atau wajah yang sinis. Jarang bertegur
sapa kecuali sekadarnya. Kalaupun bisa berkomunikasi atau berbicara, maka
pembicaraan pun tidaklah terasa enak. Tidak jarang akan berakhir dengan
perdebatan atau perselisihan.
Kebahagian
*keempat* menurut Baginda Nabi SAW adalah *kendaraan yang nyaman.* Yaitu
yang memudahkan urusan pengendaranya. Memberikan kenyamanan, menyampaikan ke
tujuan dengan selamat dan lancar, sesuai dengan harapan. Kenyamanannya bukan
karena mahalnya harga, akan tetapi karena pengendaranya tidak merasa susah dan
letih di atasnya. Apalagi bila kendaraan itu adalah sarana untuk meluaskan
dakwah, menopang perjuangan amar makruf dan nahi mungkar.
Sebaliknya bila kendaraan itu menyusahkan, membuat
pengendaranya menjadi letih dan sulit, berakibat gagalnya banyak agenda dan
pekerjaan, maka itu tentunya sebuah *kendaraan yang buruk.*
Adalah suatu yang mubah dalam agama bila seorang mukmin
memiliki kendaraan yang nyaman, yang memudahkannya untuk beramal shaleh dan
berdakwah di jalan Allah. Nabi Shallallahu alaihi wasallam memiliki
kendaraan-kendaraan (tunggangan) pilihan di zamannya, yang cepat larinya dan
tangguh dibawa berjuang. Baik berupa kuda maupun onta dan beghal. Bahkan Beliau
memiliki tunggangan yang baik lebih dari satu.
Senin, 08 Januari 2018
LIMA SEBELUM LIMA
Oleh: Irsyad Syafar, Lc., M.A
Nikmat itu baru terasa kalau sudah tidak ada. Kalau masih
ada atau masih di tangan, sering terlupakan. Kalau sudah habis atau hilang,
timbullah kerisauan dan angan-angan. Seandainya begini, seandainya begitu....
Bila kita tidak ingin menyesal, maka manfaatkanlah segala
nikmat - selama masih ada - untuk kebaikan. Bila kita ingin rasa memiliki
nikmat itu semakin kuat, maka tengok dan perhatikanlah orang yang telah
kehilangannya, di saat kita masih punya.
Ada limat nikmat yang disebut khusus oleh Rasulullah saw:
*Pertama, Masa dan
usia muda.* Adalah nikmat yang sangat berharga dari Allah. Di saat masih
muda, berbagai potensi dan kemampuan Allah berikan. Tenaga, semangat, daya
juang, daya tahan, obsesi dan sebagainya, sangat kuat dan maksimal di saat
masih muda. Ingin berbuat apa, ingin bekerja apa, ingin pergi kemana, ingin
merancang apa dan sebagainya, masih sangat mungkin direalisasikan.
Kalau ingin terasa betapa masa muda itu adalah nikmat yang
mahal, kunjungilah orang yang sudah tua. Banyak hal yang dia sudah tidak mampu
dan tidak kuat melakukannya. Tenaga sudah jauh berkurang, kulit sudah keriput,
daya tahan untuk lama-lama bekerja sudah menipis, pandangan dan pendengaran
juga melemah, dalam banyak hal akan bergantung pada pertolongan orang lain.
Sudah sulit diajak berjalan cepat, apalagi berlari kencang.
*Kedua, Nikmat
sehat.* Itu adalah nikmat yang sangat berharga. Dengan nilai berapapun
orang mau menebusnya. Sebab, dengan kesehatan orang terbebas dari banyak
halangan, pantangan dan rintangan. Sayangnya, pepatah arab mengatakan,
"kesehatan itu adalah mahkota di atas kepala orang yang sehat. Tidak
banyak yang melihatnya kecuali orang yang sakit".
Kalau kita betul-betul ingin merasakan betapa nikmatnya
sehat itu, kunjungilah (lihatlah) orang yang sakit. Apalagi orang yang kita
kenal dahulunya energik, aktif, penuh kerja dan karya. Saat dia sudah terbaring
tak berdaya, fisiknya sudah berubah, tenaga sudah sangat berkurang, bahkan
mungkin pasrah dengan "taqdir" Allah, saat itulah kita akan mengakui
nikmat pemberian Allah yang bernama sehat.
Tidak jarang karena jenis penyakit tertentu, banyak
nikmat yang menjadi hilang, padahal kita mampu memilkinya. Bila sudah darah
tinggi terlaranglah sebagian makan. Bila sudah tinggi kolestrol, terhalanglah
dari berbagai makanan. Bila sudah kena sakit gula, maka berkuranglah nikmat
sebagian makanan. Dan banyak lagi pantangan-pantangan lain.
*Ketiga, Nikmat
kaya* atau berpunya, juga merupakan nikmat yang sangat besar dari Allah.
Dengan kekayaan seseorang bisa berbuat dan melakukan banyak hal. Apalagi kalau
orangnya shaleh dan taat kepada Allah. Ia bisa beribadah dengan baik, pergi
haji dan umrah, berinfaq dan bersedekah, membangun masjid dan lembaga
pendidikan, membantu orang lain yang dalam kesulitan. Terpikir hendak berinfaq,
langsung bisa dieksekusi. Terangan-angan ingin membantu orang lain, langsung
dapat direalisasikan.
Bila kita ingin lebih merasakan nikmatnya kekayaan itu,
maka kunjungilah orang yang tidak punya (faqir miskin) disaat kita punya.
Duduklah sejenak bersamanya, melihat dan mendengar "deritanya".
Dengarkan harapan dan angan-angannya, agar kita ikut bersamanya dalam suasana
"ketidakmampuan". Paling tidak, kita akan semakin bersyukur kepada
Allah atas nikmat-nikmatNya.
*Keempat*, sangat
mahal harganya *nikmat lapang*. Dimana kita punya waktu memadai untuk
mengerjakan sesuatu, menuntaskan tugas-tugas, menunaikan janji dan amanah,
memenuhi permintaan orang lain dan sebagainya.
Kalau kita ingin merasakan betul nikmatnya waktu lapang,
datangilah orang yang sangat sibuk dan padat agenda. Terutama yang sudah
"kepepet" dengan jadwal penyelesaian tugas. PR belum selesai, skripsi
belum tuntas, kerjaan kantor menumpuk, hutang jatuh tempo dan sebagainya,
sementara waktu sudah sangat kasib.
Dalam kondisi tersebut biasanya banyak tugas yang
terabaikan, kualitas kerja yang sangat rendah dan kadang asal-asalan. Jangankan
yang sunat, yang wajib-wajib pun kadang jadi tertinggal. Birrul walidain tak
jalan, silaturrahim macet, janji-janji terkendala dan lain sebagainya.
Yang *kelima*,
nikmat yang paling sering kita lupakan adalah *nikmat hidup*. Saat masih
hiduplah kita bisa menambah tabungan akhirat, pundi-pundi amal shaleh dan
peluang-peluang tingginya derajat di sisi Allah. Kalau sudah mati, berakhirlah
semuanya, kecuali yang memang sempat "diinvestasikan" saat masih
hidup.
Bila kita ingin terus merasakan nikmatnya hidup, maka
kunjungilah orang yang baru saja wafat. Lihatlah jasadnya yang sudah tak
berdaya, pasrah menunggu proses-proses terakhir di dunia. Berikutnya jalan
panjang di akhirat yang tak ada lagi amal, tinggal pembalasan. Pastilah begitu
banyak rencana, obsesi, keinginan dan cita-cita yang belum kesampaian. Karena
memang, obsesi (angan-angan) seseorang selalu saja melampui batas-batas
ajalnya.
Bila lima hal tersebut kita coba mengamalkannya, tentu
akan kita pahami kenapa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh kita untuk
menggunakan yang lima sebelum datangnya yang lima:
عن بن عباس
رضي الله عنهما
قال : قال رسول الله
صلى الله عليه
وسلم لرجل وهو يعظه
: " اغتنم خمسا قبل خمس
شبابك قبل هرمك وصحتك
قبل سقمك وغناءك
قبل فقرك وفراغك
قبل شغلك وحياتك
قبل موتك".
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata
bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, "Manfaatkanlah
yang lima sebelum datangnya yang lima: Masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu
sebelum sakitmu, kayamu sebelum faqirmu, lapangmu sebelum sempitmu, dan hidupmu
sebelum matimu." (HR Hakim, dishahihkan Albani).
Wallahu A'laa wa A'lam.
Aliran Mujassimah
Pertanyaan:
Assalamualaikum. Ustadz yth. Bisa dijelaskan tentang
kesesatan aqidah mujassimah? Apakah benar ada yang menyebutkan bahwa salafiy
saat ini adalah wajah barunya??
Jazakallah
Jawaban:
Mujassimah adalah salah satu aliran atau pemahaman yang
menggambarkan Allah seolah-olah mempunyai tubuh, seperti punya tangan, punya
wajah, punya kaki, dsb. Misalnya ada ayat YADULLAH FAWQO AIDIHIM artinya tangan
Allah di atas tangan mereka. Dari ayat ini dipahami bahwa Allah punya tangan.
Ayat lain KULLU MAN 'ALAIHA FAN WA YABQO WAJHU ROBBIKA ZUL JALALI WAL IKROM (semua
yang ada ini akan hancur/ lenyap dan yang akan kekal abadi hanya lah WAJAH
Tuhanmu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan). Dari ayat ini dipahami bahwa
Allah punya Wajah. Pemahaman seperti ini bertentangan dengan ayat WA LAM YAKUN
LAHU KUFUWAN AHAD (tidak ada satupun yang serupa dengan Allah). Dan juga ayat
LAISA KAMITSLIHI SYAI'UN (tidak ada satupun yang serupa/ sama dengan Allah).
Ayat yang menjelaskan bahwa Allah punya Tangan, punya Wajah dsb disebut ayat
ayat Mutasyabihat. Bagi Ahlu Sunnah wal Jama'ah, ayat-ayat itu dipahami dan
diyakini saja bahwa Allah punya wajah, punya tangan. Tetapi tidak boleh
dipertanyakan lebih jauh seperti apa tangan Allah, berapa besar tangannya, Jarinya,
berapa besar wajah Allah (Bi La Kaifa). Bagi Mu' tazilah ayat-ayat Mutasyabihat
itu ditakwil, dialihkan maknanya. Maka Tangan Allah di atas tangan mereka, artinya
KEKUASAAN ALLAH DI ATAS KEKUASAAN MEREKA. Semua yang ada ini akan hancur dan yang
kekal hanya Wajah Allah, maksudnya yang akan Kekal hanya Dzat Allah, artinya
Allah itu sendiri yang kekal abadi. Wallahu A'lam.
Ustadz Dr. Mukhlis Bahar. Lc. MA
Tambahan jawaban dari DR. Jon Pamil , Ketua Ikadi Riau
Dr. H. Jon Pamil, MA (Dosen Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Suska Riau, ketua umum IKADI Riau, wakil ketua devisi Kominfo MUI
Riau)
بسم الله الرحمن الرحيم
Mujassimah adalah sebuah firqah yang menyimpang dari
aqidah Islam.Tokoh awalnya adalah seorang Rafidha bernama Hisyam bin al-Hakam,
yang mengatakan bahwa Allah punya fisik dengan sifat dan kadar tertentu. Fisik
Allah sama antara lebar dan tingginya, punya warna punya rasa, bercahaya
seperti mutiara bundar.
Adapun dalam tubuh ahlussunnah wal jama’ah, memang
terjadi juga perbedaan pendapat dalam menyikapi ayat-ayat tentang sifat khabariyah
(sifat-sifat Allah yang hanya bisa diketahui melalui khabar yang benar yaitu
al-Qur’an dan sunnah), seperti wajah, tangan, mata, berada di langit,
bersemayan (istiwa’), datang, turun dan sebagainya yang dinisbahkan kepada
Allah.
Kelompok Atsary/ahlul hadits, menetapkan makna zahir dari
sifat-sifat tersebut secara hakiki, sehingga Allah mempunyai wajah, tangan,
mata, berada di langit, bersemayan diatas ‘Arasy, turun setiap sepertiga akhir
malam serta datang bersama malaikat di hari kiamat nanti. Namun bagaimananya
(al-kaif) diserahkan kepada Allah. Jadi Allah punya wajah secara hakiki namun
bagaimana wajah Allah tidak diketahui, Allah bersemayan di atas Arasy secara
hakiki, namun bagaimana bersemayamnya tidak diketahui. Kaedah ini (balkafah)
diambil dari jawaban Imam Malik terhadap pertanyaan seseorang terkait bersemayamnya
Allah, yaitu bahwa makna bersemayan itu diketahui (ma’lum) tetapi caranya
(alkaif) tidak diketahui (Majhul). Diantara ulama yang menganut faham seperti
ini adalah Imam Ahmad, Imam Ibnu Mandah, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnu
Taimiyah, Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dan sebagainya.
Sedangkan kelompok Asy ’ariah mutaakhkhirah (pengikut
Asy’ari belakangan) punya pendapat bahwa ayat-ayat tersebut tidak boleh
difahami zahirnya. Mereka berpendapat bahwa para salaf menyerahkan makna-makna
ayat tersebut kepada Allah (tafwidh), dan cara ini mereka anggap lebih selamat
(aslam). Namun mereka juga menempuh cara khalaf yaitu dengan mentakwil makna
ayat-ayat tersebut. Wajah ditakwil dengan keridhaan, tangan dengan kekuasaan,
mata dengan pengawasan, istiwa’ dengan bersemayamnya kekuasaan, turun ke langit
dunia ditakwil dengan turunnya ramat Allah, datangnya Allah di hari kiamat
dengan datangnya perintah Allah. Mereka menganggap cara ini lebih mantap (ahkam).
Diantara ulama yang berfaham seperti ini adalah Imam al-Ghazali, Imam Arrozi,
dan sebagainya.
Nah, yang dianut oleh kawan-kawan yang dijuluki salafi
sa’at ini adalah mazhab ahlul hadits atau Atsari ini. Ini bukan mazahab
menyimpang dan bukan pula mujassimah. Dua kelompok besar ini merupakan realita
dalam tubuh sunni. Perbedaan ini bukan perbedaan baru, namun sudah sejak
puluhan abad yang lalu. Kita yang hidup di zaman ini mestilah mengedepankan
objektifitas dan menjauhkan diri dari ta’ashshub dan taqlid buta.
Kalau kita mau merujuk pada salaf (sahabat dan tabi’in)
dalam memahami ayat-ayat sifat khabariyah tersebut dengan merujuk pada tafsir
bilma’tur semisal Aththabary, Al-Baghawi bahkan tafsir Imam Suyuthi yang
bernama Addurul mantsur Fi Attafsir bi al-Matsur, kita akan tahu betapa
lempangnya pemahan salaf terkait ayat-ayat ini. Mereka berta’amul dengannya
sesuai dengan konteksnya. Karenanya kadang mereka mentakwil semisal wajah yang
ada dalam surat al-Baqarah 115 dengan kiblat, wajah yang terdapat dalam
ayat-ayat yang konteksnya zakat, infaq dan shadaqah dengan keridhaan, mata
dengan pengawasan karena konteksnya perintah Allah terhadap nabi Nuh untuk
membuat sampan. Tapi mereka juga meng itsbat (menetapkan makna lahir) seperti
keberadaan Allah dilangit, bersemayamnya Allah serta datangnya Allah di hari
kiamat. NAMUN TAKWIL MEREKA TIDAK MENTA’THIL (MENAFIKAN SIFAT), DAN ITSBAT
MEREKA TIDAK MENTAJSIM DAN MENTASYBIH. Mereka pahami secara global dan tidak
berdebat menghabiskan energi disitu. Mereka sibuk berjihad, berdakwah dan
membangun keilmuan dan peradaban.
Terkait dalam masalah akidah ini, menarik juga kalau kita
memperhatikan manhaj ulama-ulama kontemporer yang menawarkan beberapa hal,
diantaranya :
1. Bahwa
dua kelompok sunni ini realitas yang tak bisa dipungkiri, dan kedua mazhab ini
dianut oleh ulama-ulama besar dengan keilmuan yang mumpuni. Karenanya kalau
memang kita berbeda dan belum bisa disatukan, maka janganlah perbedaan itu
menyebabkan kita terus menerus saling serang diantara kita. Mari arahkan energi
kita pada musuh hakiki kita yang memang menginginkan kita terus dalam
perselisihan. Mari arahkan energi kita untuk mengerjakan proyek-proyek kebangkitan
umat.
2. Bahwa
manhaj al-Qur’an dalam menanamkan akidah sangat halus dan lembut, lebih lembut
dari angin sepoi-sepoi. Allah memperkenalkan dirinya baik nama-nama maupun
sifat-sifatnya dengan pernyataan-pernyataan datar dalam al-Qur’an, lalu
mengarahkan manusia untuk membuktikannya pada ayat-ayat kauniyah yang ada dalam
alam semesta ini. Keberadaan Allah, keesaanNya, ilmuNya yang sempurna, kekuasanNya,
sifat kasih sayangNya akan terbaca dan terbukti melalui penelitian terhadap
ayat-ayat Allah di alam semesta ini. Dengan demikian iman akan meningkat,
teknologi akan terkuasai. Ayat-ayat sifat khabariyah jumlahnya hanya puluhan,
sementara ayat-ayat kauniyah jumlahnya ratusan. Diantara kitab-kitab yang
ditulis oleh ulama kontemporer dalam masalah akidah dengan pendekatan ini
adalah kitab Allah Jalla Jalaluhu karya Sayyid Hawwa, Kitab Attauhid wa
al-i’ijaz al’Ilmi fi al-Quranu al-Karim karya Syekh Abdul majid ‘Aziz Azzindani
dan lain. Syekh Muhammad al-Ghazalili mengatakan, seandainya generasi salaf itu
hidup dalam aliran yang suka berdebat, maka takkan ada satu negeripun bisa
mereka tundukkan dan tak ada satu dadapun yang bisa dimasuki iman.
3. Khazanah
atau turats yang sangat banyak dalam masalah ini, bukan berarti tidak berguna,
ianya sangat berguna dijadikan sebagai bahan kajian oleh para peneliti. Namun
tidak semuanya cocok jadi konsumsi masyarakat awam. Perdebatan yang tajam
(saling tabdi’, tafsiq, takfir) sangat tidak elok bila terus menerus
diwariskan. Biarlah itu sejarah masa lalu yang tidak pantas dipikulkan pada
generasi sekarang ini.
Terakhir saya ingin menyampaikan, dua hal :
1. Kita
mesti hati-hati betul menyikapi perbedaan dikalangan sunni ini, sebab kelompok
syi’ah sangat pandai memanfa’atkannya untuk melemahkan kita.
2. Jangan
lupa salah satu aspek akidah yang juga sangat penting adalah al-Wala’ wa
al-Barra, yang Nabi menyebutnya sebagai tali perekat umat paling kuat (Aqwa
‘ural Ummah). Nah jangan sampai gara-gara perselisihan dalam masalah ini kita
memutus yang kuat ini.
Wallahu a’lam bishshawab.
Pekanbaru, 05 November 2017
Penambahan Ongkir
Pertanyaan:
Sebagai pedagang online, bolehkah hukumnya melebihkan
ongkir sebagai keuntungan? Misal, ongkir oleh ekspedisi tertentu 25 rb, maka
kita lebihkan menjadi 30 rb atau 35 rb, kelebihan ongkir 5 rb atau 10 rb itu
adalah termasuk keuntungan kita.
Bagaimana hukumnya ustadz, Bolehkah?
Terimakasih sebelumnya ustadz..
Jawaban:
Kaedah umum menyatakan AL-ASHLU FIL MU'AMALAH AL- IBAHAHH
ILLA MA DALLAD DALILU 'ALA TAHTIMIHA, artinya hukum asal pada bidang Muamalat
adalah mubah artinya semua bentuk interaksi sosial adalah boleh kecuali
ada dalil lain dari mengharamkannya. Mengambil untung (al-Ribhu/profit)
hukumnya boleh termasuk mengambil ongkos kirim. Jika ongkirnya 35 ribu kita
tambahkan juga laba disitu mungkin biaya membungkus dan mengantar ke Tiki lalu
ongkirnya jadi 50 ribu hukumnya boleh asalkan dalam jumlah yang wajar dan masuk
akal (patut, pantas, layak dan orang lain tidak merasa tertipu).
Wallahu a'lam
Ustadz Dr. Mukhlis Bahar. Lc., MA
Tentang kata Sayyidina
Mau tanya ustadz, tentang dalil yang menjelaskan tidak
memakai "sayyidina" pada bacaan shalawat di tahiyyat akhir dalam
shalat. Soalnya ada teman-teman ana dari kecil sudah terbiasa memakai bacaan
tersebut, hingga susah di ubah. Dan ana juga mau menyampaikan pada mente ana ustadz
syukron Jazakallah...
Jawaban:
Di Indonesia ada kelompok yang seolah-olah mewajibkan
menggunakan kata "SAYYIDINA" sebelum menyebut nama Nabi MUHAMMAD (harus
membacanya Sayyidina Muhammad) bahkan ditambah dengan Sayyidina wa Habibina wa
Syafi'ina wa Maulana Muhammad. Kelompok yang berpaham seperti itu misalnya
Nahdhiyin (NU). Sebaliknya ada kelompok yang seolah-olah mengharamkan
penggunaan kata Sayyidina di depan kata Muhammad. Katanya dalam Al- Qur'an ada
nama surat Muhammad. Tidak disebut surat SAYYIDINA MUHAMMAD. Kelompok yang
berpaham seperti ini misalnya Muhammadiyah dan Salafi. Namun di dalam shalat
ketika membaca shalawat sebaiknya tidak pakai Sayyidina. Karena hadist-hadist
tentang shalawat umumnya tidak ada yang pakai Sayyidina. Tapi di luar shalat
boleh saja pakai Sayyidina wa habibina wa maulana Muhammad. Ada dua hadis yang
seolah-olah bertentangan. Yang pertama berbunyi ANA SAYYIDUL ANBIYA' WA LA
FACHAR (saya ini penghulu segala Nabi, bukan nyombong). Sebaliknya hadist lain
LA TUSAYYIDUNI (Jangan kau panggil aku dengan kata sayyid). SEJAUH MANA
kualitas hadist ini perlu diteliti dan ditanya pada Ahlul Hadist. Wallahu A'lam
Ustadz Dr. Mukhlis Bahar. Lc., MA
Minggu, 07 Januari 2018
KAEDAH DAKWAH 1: QUDWAH SEBELUM DAKWAH
Oleh: Ustadz Irsyad Syafar, Lc., M.Ed
DAKWAH SUATU KEMESTIAN
Tidak bisa dibayangkan seperti apa kondisi kaum muslimin
tanpa para da'i di tengah-tengah mereka. Pastilah mereka akan terombang-ambing
kian kemari, disambar para syetan dari kalangan jin dan manusia. Karena
itulah Allah menghendaki adanya da'i yang menjadi sumber cahaya saat kegelapan,
memberi petunjuk ke jalan kebenaran, memimpin umat dalam kebaikan, membebaskan
mereka dari kesesatan berfikir, penyimpangan dalam keyakinan dan kerusakan dalam
mengabdi kepada Allah. Para Nabi dan Rasul semua adalah da'i di jalan Allah.
Dan Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam adalah pemimpin para Da'i sampai
akhir zaman.
Allah ta'alaa berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا
أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا.
وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ
وَسِرَاجًا مُنِيرًا.
Artinya: "Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu
untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan untuk
jadi penyeru (Da'i) kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya
yang menerangi." (QS Al Ahzab: 45-46).
Dan siapapun yang beriman yang mengaku sebagai pengikut
Nabi Shallallahu alaihi wasalam, adalah berkewajiban mengemban amanah untuk berdakwah
di jalan Allah. Sebagaimana Allah tegaskan:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو
إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ
بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ
وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya: Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku
dan orang-orang yang mengikutiku, mengajak (menyeru) kepada Allah dengan hujjah
yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik". (QS Yusuf: 108).
Allah Ta'ala ingin menegakkan hujjah (alasan) kepada
hamba-hambaNya dengan mengutus seorang Rasul dari jenis yang sama dengan objek
dakwah. Yaitu sama-sama manusia, bukan dari kalangan malaikat. Agar manusia
tidak beralasan nanti bahwa mereka tidak mampu beriman seperti Rasul disebabkan
perbedaan jenis.
QUDWAH PILAR UTAMA DAKWAH
Rasul sebagai utusan Allah sekaligus sebagai Da'i yang
jenisnya sama dengan kaumnya, sama-sama makan dan minum, tidur dan bangun,
berjalan di pasar dan sebagainya, dijadikan qudwah (teladan atau prototipe)
bagi kaumnya. Ketika masa kenabian telah berakhir, maka para ulama (juga para
Da'i) yang menempati posisi (qudwah) tersebut. Sebab, kebanyakan manusia tidak
bisa memisahkan antara dakwah dan da'i. Sebagaimana juga tidak bisa dipisah
antara Rasul dan risalahnya. Karena sesungguhnya Islam adalah Dakwah dan Da'i sekaligus.
Si pembawa dakwah harus mencerminkan dakwah yang dibawanya.
Nabi Shallallahu alaihi wasallam selaku Da'i kepada
Allah, telah mengajarkan posisi keteladanan ini kepada sahabat-sahabatnya dan
umat keseluruhan. Beliau adalah qudwah bagi setiap ayah, suami, teman,
pendidik, murabbi, panglima, pemimpin, politisi, negarawan dan
sebagainya.
Nabi Shallahu alaihi wasallam mengilustrasikan posisi
dirinya dalam hadita yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
أَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِنَّ
اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ فَجَعَلَنِي
فِي خَيْرِهِمْ فِرْقَةً
، ثُمَّ جَعَلَهُمْ
فِرْقَتَيْنِ فَجَعَلَنِي فِي خَيْرِهِمْ فِرْقَةً
، ثُمَّ جَعَلَهُمْ
قَبَائِلَ فَجَعَلَنِي فِي خَيْرِهِمْ قَبِيلَةً
، ثُمَّ جَعَلَهُمْ
بُيُوتًا فَجَعَلَنِي فِي خَيْرِهِمْ بَيْتًا
، وَخَيْرِهِمْ نَسَبًا
" . قَالَ أَبُو عِيسَى : هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Artinya: "Saya adalah Muhammad bin Abdullah bin
Abdul Muththalib. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, maka Dia jadikan aku
sebaik-baik kelompok. Lalu Dia jadikan dua kelompok, maka aku adalah kelompok
terbaik. Lalu Dia ciptakan manusia berkabilah-kabilah, maka aku adalah kabilah
yang terbaik. Lalu Dia jadikan manusia berumah-rumah, maka aku adalah rumah
yang terbaik dan nasab yang terbaik." (HR Tirmidzi, hasan).
Maka Beliau shallallahu alaihi wasallam seorang hamba
yang khusyuk beribadah, suami yang penyayang kepada istri dan keluarga, ayah
yang lemah lembut kepada anak-anaknya, teman yang setia kepada sahabatnya,
panglima yang tangguh dalam perang, pemimpin yang kuat dalam memimpin dan
penguasa yang adil kepada rakyatnya. Begitulah Allah mengkondisikan karena
Qudwah (keteladanan) merupakan tonggak utama keberhasilan dakwah.
QUDWAH SENJATA UTAMA ISHLAH
Pepatah arab menyatakan "yang tidak punya apa-apa
tidak akan bisa memberi apa-apa (فاقد
الشيء لا يعطي).
Takkan bermakna dakwah orang zhalim yang mengajak berbuat adil. Takkan ada
pengaruh dakwah orang yang hidup mewah yang mengajak hidup sederhana. Takkan
bernilai dakwah si pembohong yang mengajak orang lain berkata jujur. Dan tak
ada gunanya dakwah orang yang menyimpang bila mengajak orang lain untuk
istiqamah.
Prinsip "mulai dari dirimu" adalah kunci
keberhasilan dakwah. Tegakkanlah "negara Islam" dalam dirimu dan
keluargamu, niscaya ia akan tegak dan hadir disekitarmu.
Islam tidak melarang seorang mukmin memiliki kendaraan
yang bagus, pakaian yang bagus, harta kekayaan yang banyak, aroma parfum yang
wangi dan pernak-pernik kekayaan dunia lainnya yang halal.
Namun, bila seorang da'i yang memiliki kekayaan seperti
itu, saat ia berdakwah di depan khalayak ramai yang terdiri dari orang-orang
kaya dan miskin, lalu ia berbicara tentang hidup sabar, tabah, qana'ah dengan
rezki Allah dan hal lain yang semakna. Tentulah itu akan sangat mengiris hati
kaum faqir miskin dan dhu'afa yang hadir di sana.
Kenapa demikian? Karena pembicaraan seperti itu tidak
sejalan dengan kondisi dan realita si da'i yang berbicara. Sang da'i mungkin
sangat memahami makna sabar, tabah dan qana'ah (secara teoritis). Tapi, kaum
faqir miskin tidak saja sekedar paham. Justru mereka lebih merasakan dan
mengalami apa itu sabar, tabah dan qana'ah. Itulah "makanan" mereka
sehari-hari. Akan lebih mengena apabila sang Da'i menyampaikan seruan sikap
dermawan, pemurah, peduli dan berbagi kepada para aghniya' (orang-orang kaya).
Bila perlu, disampaikan dengan lebih tegas dan kuat. Dan kemudian langsung
memberikan qudwah (contoh teladan) kepada mereka.
Islam memang adalah agama damai dan keselamatan.
Mengajarkan kasih sayang kepada sesama dan menebarkan rahmat bagi semesta alam.
Namun, akan terasa rancu jadinya, bila seorang Da'i berbicara perdamaian,
mengajak umatnya untuk menebar kasih sayang, sementara di negeri itu umat Islam
lagi ditindas, para ulama di penjara dan dipinggirkan, aktivitas keislaman
dibelenggu oleh para penguasa. Harusnya pada kondisi itu seorang Da'i menyeru
penguasa untuk menghormati para ulama, menghentikan penindasan dan
kesewenang-wenangan terhadap umat.
Orang yang berkata tidaklah sama dengan orang yang
berbuat. Dan orang yang berbuat juga tidak sama dengan orang yang berjuang
(berjihad). Dan orang yang berjuang juga tidak sama dengan orang yang terus
kokoh dan bertahan dalam perjuangannya sampai mendapatkan salah satu dari dua
kebaikan; kemenangan atau mati syahid dalam kebenaran.
Qudwah (keteladanan) dalam dakwah adalah dakwah itu
sendiri. Memperbaiki dan merubah dengan keteladanan, jauh lebih ampuh dan lebih
bermakna. "Perbuatan satu orang dihadapan seribu orang, jauh lebih
berpengaruh dari pada perkataan seribu orang dihadapan satu orang".
Perjalanan panjang dakwah Rasulullah saw dan para sahabat
Beliau yang mulia, penuh dengan keteladanan. Tidak sedikit kemenangan dakwah
terwujud karena adanya keteladanan. Orang-orang berduyun-duyun masuk Islam
karena melihat dan merasakan qudwah pada diri Rasulullah saw. Begitu juga
kemenangan Islam (futuhat Islamiyah) diberbagai negeri dan negara, dapat diraih
karena mereka melihat qudwah pada diri para sahabat dan pejuang-pejuang Islam.
Bahkan Islam masuk ke kawasan Asia Tenggara tanpa pedang dan peperangan. Qudwah
yang ditampilkan oleh para saudagar yang berinteraksi dengan penduduk setempat
telah memikat hati mereka. Sehingga mereka masuk Islam secara suka rela.
SIFAT UTAMA SEORANG DA'I
Agar seorang da'i dapat menjadi qudwah bagi umat dalam
dakwahnya, maka hendaklah ia menghiasi dirinya dengan beberapa sifat (karakter)
utama, diantaranya:
1. Keimanan
yang mendalam dan Aqidah yang lurus.
Hal ini diwujudkan dengan
merealisasikan rukun iman yang enam dalam hati dan keyakinan. Seorang da'i
mesti menjauhkan diri dari hal-hal yang akan menjatuhkannya kepada perbuatan
syirik. Disamping itu, dalam kesehariannya ia memiliki hubungan yang sangat
kuat dengan Allah, yang diaplikasikan dalam ibadahnya yang terjaga (kualitas
maupun kuantitas), baik shalat, puasa, sedekah, tilawah, dan ibadah mahdhah
lainnya. Sebab, ibadah yang baik merupakan salah satu indikator keimanan.
2. Bersifat
Amanah, dapat dipercaya.
Ini merupakan sifat yang
sangat mendasar bagi para Da'i di jalan Allah. Kebanyakan Nabi dan Rasul
dimuliakan Allah dengan sifat ini. Nabi Nuh, Hud, Shaleh, Luth, dan Syu'aib
dinyatakan sebagai Rasuulun amiin (Rasul yang amanah) dalam Surat Asy Syu'ara.
Nabi Yusuf dipuji Allah dengan Hafizhun 'Aliim. Hafizh itulah yang amanah. Nabi
Musa juga disebut Allah sebagai seorang yang kuat lagi amanah (Al qawwiyul
amiin). Begitulah, keberhasilan dakwah para Nabi ditopang dengan sifat mereka
yang amanah.
3. Ash
Shidqu (benar dan jujur) dalam dakwahnya.
Mulai dari Shidqul Lisan
(benar dalam ucapan), shidqun niyah (benar dalam niat/motivasi), shidqul 'azmi
(benar dalam tekad), shidqul wafa' wal 'ahdi (benar dalam kesetiaan dan janji),
sampai kepada shidqul amal (benar dalam amal). Allah memuji hamba-hambanya
memiliki sifat ash shidqu ini:
مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا
عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ
فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ
وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ
وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
Artinya: "Di antara
orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara
mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah
(janjinya)". (QS Al Ahzab: 23).
Berkata bohong, tidak ikhlas
kepada Allah, tidak konsisten dalam kerja, sering mangkir dari kerja dakwah dan
perjuangan, mengejar popularitas dan balasan dunia, semua itu merupakan
indikasi hilang (lemahnya) ash shidqu dalam dakwah.
Seorang pujangga arab
menyatakan (yang artinya):
Jika rahasia dan nyata dalam
diri mukmin itu sama...
Maka dia mulia di dua kampung
dan berhak mendapat puja...
Jika yang nyata
menyelisihi yang rahasia...
Maka tidak ada baginya
melainkan susah dan nestapa...
4. Penyayang,
lemah lembut dan santun.
Ini juga merupakan sifat utama
seorang da'i. Sebab, seorang da'i tugasnya adalah mengajak bukan menghukum.
Allah Ta'alaa menyebutkan tentang pribadi Rasululah saw:
لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ
حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya: "Sungguh telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS At Taubah:
128).
Dalam ayat lain Allah
nyatakan:
فبِما رَحْمَةٍ
مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ
وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ
ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ فَٱعْفُ
عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى
ٱلْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ
يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ.
Artinya: "Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS Ali Imran: 159).
5. Sabar
dalam menjalankan dakwah.
Sebab jalan dakwah adalah
jalan panjang, tidak terukur dengan umur seorang da'i. Jalan dakwah adalah
jalan yang penuh cobaan dan ujian. Bukan jalan kesenangan dan kepuasan. Dijalan
ini para Nabi, para Shiddiq, para Syuhada dan orang-orang shaleh telah
merasakan berbagai penderitaan. Pembunuhan, penyiksaan, fitnah, celaan,
penjara, pemboikotan dan berbagai kesusahan/keletihan telah dialami oleh
da'i-da'i awal dari para Nabi dan Rasul. Tentulah takkan ada kemudian, da'i yang
senang saja dalam dakwahnya. Allah berfirman:
وَلَقَدْ كُذ
ِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ
قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا
وَأُوذُوا حَتَّىٰ أَتَاهُمْ نَصْرُنَا
ۚ وَلَا مُبَدِّلَ
لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ۚ وَلَقَدْ
جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ.
Artinya: "Dan
sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi
mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap
mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang
dapat merubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah
datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu." (QS Al An'am:
34).
Wallahu A'laa wa A'lam.
(Sumber: Ad Dakwah Qawaid wa
Ushul)