MUTIARA HIKMAH
IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin
MUTIARA HIKMAH
IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin
MUTIARA HIKMAH
IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin
MUTIARA HIKMAH
IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin
MUTIARA HIKMAH
IKADI; Menebar Islam Rahmatan lil 'Alamin
Kamis, 15 Februari 2018
Selasa, 13 Februari 2018
SATU JARI YANG DAHSYAT
Oleh: H. Irsyad Syafar, Lc., M.Ed
Siapakah yang tidak kenal dengan Qutaibah bin Muslim Al
Bahiliy. Dialah seorang panglima perang yang sangat terkenal, pemimpin
penaklukan Islam di kawasan Asia tengah pada abad pertama hijriyah. Tabiin yang
mulia ini telah menaklukkan wilayah Khawarizmi, Sijistan, Samarqand, Bukhara
dan sampai ke perbatasan negara Rusia.
Imam Adz Dzahabi menceritakan dalam kitab "Siyar
A'lam An Nubala", ketika Qutaibah memimpin pasukan umat Islam berhadapan
dengan pasukan Attrak, hatinya bergetar melihat pasukan lawan yang sangat
tangguh. Maka dia bertanya kepada pengawalnya, "Dimana Muhammad bin Al
Waasi'?". Para sahabatnya memberi tahu bahwa Muhammad bin Al Wasi' ada di
barisan sayap kanan pasukan.
Maka Qutaibah menoleh ke arah sayap kanan pasukan.
Rupanya disana Muhammad bin Al Wasi' sedang bersiap dengan panahnya. Tapi, jari
telunjuknya menunjuk ke arah langit, dan bibirnya komat-kamit berdoa kepada
Allah.
Seketika itu juga Qutaibah langsung berteriak dengan
keras: "Sesungguhnya satu jari itu lebih aku sukai dari pada seratus ribu
anak panah yang terbang melayang dan seratus ribu pemuda yang berperang".
Dan benar, peperangan itu dimenangkan oleh pasukan
Qutaibah bin Muslim. Dan doa seorang lelaki shaleh lagi mulia, Muhammad bin Al
Wasi' telah membuat kokoh dan kuatnya pasukan dihadapan kekuatan musuh.
Begitulah buah dari hubungan yang sangat baik dan kuat
antara seorang hamba dengan Rabbnya. Yaitu kemenangan dalam setiap perjuangan.
Bahkan satu jari sekalipun bisa jauh lebih kuat dari pada seratus ribu
pasukan.
Dalam kerja-kerja dakwah, seorang da'i sangat membutuhkan
pertolongan-pertolongan khusus dari Allah. Sebab, beban dan tantangan dakwah
dari hari ke hari semakin berat. Maka setiap da'i harus membangun hubungan yang
baik dengan Allah, melalui penguatan iman dan peningkatan amal shaleh baik
kualitas maupun kuantitas.
Seorang da'i tidak boleh menyepelekan doa dan ibadah yang
dia lakukan kepada Allah. Bisa jadi dari situ Allah mendatangkan
pertolonganNya. Tidak saja kepada dirinya, bahkan bisa kepada kerja-kerja
dakwah kolektif bersama para da'i lainnya. Dan bisa jadi itu terjadi dari orang
biasa-biasa saja.
Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ
مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ
لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ
لَأَبَرَّهُ.(رواه البخاري ومسلم)
Artinya: Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah, ada
orang yang kalau dia bersumpah dengan nama Allah, niscaya Allah buktikan
(terjadi)". (HR bukhari dan Muslim).
Wallahu A'laa wa A'lam.
Minggu, 28 Januari 2018
Meng Qadha Shalat
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum ust... Ana ingin bertanya...
Sebenanrnya, sudah lama ana mendngar cerita
ini, tapi kmren, ana kmbali lagi mendengar cerita tersebut yang mengatakan
bahwa "shalat yang tidak dilaksanakan pada waktu muda dulu, harus di
qadha/dignti dengan shalat ketika kita sudah bertaubat"
Pertanyaan inti adalah : apakah ada shalat wajib ini di
qadha?
Misalnya : kita koma agak 2 bulan atau lebih, maka
kita juga akan mengganti shalat kita yang tidak terlaksana tersebut ketika kita
sudah sadar
Bagaimana menurut ustadz?
Yang lebih ana herankan lagi, sumber yang dibcakan oleh
si pencerita kemren adalah, dari ust a*du s**m*…
Mohon bimbingannya ustadz.
(maaf klo bahasa nya gak karuan, mudah2 an bisa di
mengerti)
Jawaban:
Mengqadha shalat wajib yang sudah terlewat waktunya ada
dua macam:
1. Terlewat
karena alasan (udzur) yang syar'i, seperti karena tertidur, terlupa dan dalam
kecamuknya medan jihad.
2. Terlewat
dengan sengaja tanpa alasan yang dibolehkan oleh syara'.
Pertaman; Para ulama semuanya sepakat menyatakan bahwa
Mengqadha shalat wajib yang tertinggal karena alasan syar'i adalah WAJIB.
Hal tersebut ditegaskan dengan dalil-dalil yang sangat kuat.
Dalil-dalil tersebut antara lain, adalah sebagai berikut:
Sabda Rasulullah saw dari Hadits Anas bin Malik:
مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّ
إِذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ
لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ وَأَقِمْ
الصَّلاةَ لِذِكْرِي.
Artinya: ”Siapa yang terlupa shalat, maka lakukan shalat
ketika ia ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan shalat tersebut dan
dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (HR. Bukhari)
Adapun dalam kecamuk medan jihad, Nabi SAW Mengqadha'
Empat Waktu Shalat Dalam Perang Khandaq.
Rasulullah SAW ketika itu telah terlewatkan 4 waktu
shalat, yaitu Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya. Maka Beliau dan para sahabatnya
melakukan keempat shalat tersebut secara urut setelah waktu isya.
عَنْ نَاِفع عَنْ أَبِي
عُبَيْدَة بنِ عَبْدِ الله
قَالَ : قاَلَ عَبْدُ الله
: إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ
عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ
الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ
اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ
فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ
أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ
أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ
أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ
أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ.
Artinya: Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah
berkata Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah
SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga
malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk
melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat
Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian
iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan
beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i)
Nabi SAW juga Mengqadha Shalat Shubuh karena tertidur
sepulang dari Perang Khaibar:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ : سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ
لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ
لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ
أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلاةِ
. قَالَ بِلالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ
فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلالٌ ظَهْرَهُ إِلَى
رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ
النَّبِيُّ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ
الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلالُ
أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ
مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ
نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ
إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ
حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ
حِينَ شَاءَ يَا بِلالُ
قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاةِ
فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ
وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى
Artinya: Dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya
berkata,”Kami pernah berjalan bersama Nabi SAW pada suatu malam. Sebagian kaum
lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar bersama
kami?” Beliau menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan
shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka mereka pun
berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggangannya. Namun ternyata
rasa kantuk mengalahkannya dan akhirnya Bilal
pun tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun ternyata matahari
sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai Bilal, mana bukti yang kau
ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti
ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang
ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian
sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada
orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau SAW berwudhu, ketika matahari
meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.”
(HR. Al-Bukhari)
Semua dalil2 diatas menunjukkan wajibnya mengqadha shalat
yang terlewatkan karena adanya udzur. Caranya adalah mengqadha langsung ketika
terbangun, atau teringat atau terbebas dari kecamuk perang.
Kedua; Adapun mengqadha shalat wajib yang dutinggalkan
dengan sengaja, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini kepada dua
pendapat besar.
*Pendapat pertama* menyatakan wajib mengqadha, walaupun
habis waktunya untuk melakukan hal itu, walaupun banyak shalat yang
terlewatkan, selama tidak memberatkan. Pendapat ini adalah pendapat Imam 4
madzhab; Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali.
Alasan pendapat ini secara umum didasarkan kepada dalil
hadits di atas yang menyatakan tidak ada kaffarah kecuali qadha. Dan alasan
lain adalah karena kewajiban shalat tidak pernah terhapus bagi seseorang sampai
dia meninggal. Dan kewajiban qadha diqiyaskan kepada yang berudzur.
Imam Ibnu Najim (w. 970 H) salah seorang ulama mazhab
Hanafi, dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq menyatakan:
أن كل صلاة
فاتت عن الوقت
بعد ثبوت وجوبها
فيه فإنه يلزم
قضاؤها سواء تركها عمدا
أو سهوا أو
بسبب نوم وسواء كانت
الفوائت كثيرة أو قليلة
"Sesungguhnya tiap shalat yang terlewat dari
waktunya setelah pasti wajibnya, maka wajib untuk diqadha', baik
ditinggalkannya karena sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang
ditinggalkan itu banyak atau sedikit."
Imam An-Nawawi (w. 676 H) salah satu Ulama rujukan dalam
mazhab Asy-Syafi'iyah menyebutkan dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab:
من لزمه صلاة ففاتته
لزمه قضاؤها سواء فاتت
بعذر أو بغيره
فإن كان فواتها
بعذر كان قضاؤها على
التراخي ويستحب أن يقضيها
على الفور
Orang yang sudah wajib hukum shalat baginya, lalu
melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha' shalat tersebut, baik
terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewat karena udzur boleh
mengqadha'nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab."
Adapun *Pendapat yang kedua*, tidak ada qadha bagi yang
meninggalkan shalat dengan sengaja. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama kontemporer Syekh Bin Baz, Utsaimin, Albany
dan Sayyid Sabiq dalam fiqh Sunnahnya.
Alasan pendapat kedua ini antara lain:
1. Kewajiban
shalat itu sudah Allah tetapkan waktunya. Melakukan shalat tidak pada waktunya
dengan sengaja, shalat tersebut tidak sah sama sekali. Dan tidak ada dalil yang
memerintahkan penggantiannya. Berbeda dengan yang ada udzur, ada dalil yg
memerintahkan penggantiannya. Maka otomatis menjadi waktu baru bagi ibadah
tersebut, yaitu waktu saat hilangnya udzur.
2. Kalau
kewajiban shalat masih boleh dikerjakan dilain hari, maka akan tidak artinya
Allah menetapkan batas awal dan batas akhir dari waktu shalat. Mustahil Allah
mensyariatkan yang sia-sia.
3. Kalau
shalat yang ditinggal dengan sengaja masih boleh dikerjakan dihari lain, maka
tidak ada gunanya Allah mengancam neraka wail (kecelakaan) bagi yang telah
melalaikan shalat.
Bagi pelakunya tidak ada pilihan kecuali bertobat dengan
sebenar2nya taubat. Karena dia telah melakukan sebuah dosa besar. Dengan tobat
yang benar, semoga Allah mengampuninya. Dan dia harus memperbanyak amalan
sunnah dan kebaikan untuk memperberat timbangan pahalanya di akhirat.
Syekh Sayyid Sabiq menyatakan bahwa pendapat kedua ini
merupakan pendapat Umar Bin Khattab, Ibnu Umar, Saad bin Abi Waqqas, Salman
Alfarisi, Ibnu Mas'ud, Muhammad bin Sirrin, Umar bin Abdul Aziz dan lain2.
Pendapat kedua ini terlihat lebih kuat dan lebih maslahat.
Agar orang tidak mudah saja melalaikan shalat.
Adapun bagi orang yang gila atau hilang akal dalam jangka
waktu yang lama, tidak wajib baginya qadha shalat sampai dia kembali sadar dan
normal kembali. Hal ini dinyatakan olehhy Imam Az Zuhri, Hasan Al Bashri dan
Muhammad bin Sirrin.
Wallahu A'lam.
Ustadz H.Irsyad Syafar. Lc. M. Ed
Sabtu, 27 Januari 2018
TIGA MASUK SORGA dan TIGA MASUK NERAKA
Oleh: H. Irsyad Syafar, Lc., M.Ed
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah
diberitahu oleh Allah, bahwa ada tiga golongan yang pertama-tama di masukkan ke
dalam sorga dan ada tiga pula yang pertama-tama dimasukkan ke dalam neraka.
Beliau bersabda:
"عُرِضَ
عَلَيَّ أَوَّلُ ثَلاثَةٍ يَدْخُلُونَ
الْجَنَّةَ , وَأَوَّلُ ثَلاثَةٍ يَدْخُلُونَ
النَّارَ , فَأَمَّا أَوَّلُ ثَلاثَةٍ
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ : فَالشَّهِيدُ , وَعَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَحْسَنَ
عِبَادَةَ رَبِّهِ وَنَصَحَ لِسَيِّدِهِ
, وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ ،
وَأَوَّلُ ثَلاثَةٍ يَدْخُلُونَ النَّارَ
: أَمِيرٌ مُسَلَّطٌ , وَذُو ثَرْوَةٍ مِنْ
مَالٍ لا يُعْطِي
حَقَّهُ , وَفَقِيرٌ فَخُورٌ ".
Artinya: "Dipaparkan kepadaku tiga yang pertama
masuk sorga dan tiga yang pertama masuk neraka. Adapun tiga yang paling pertama
masuk sorga adalah: orang yang mati syahid, hamba sahaya yang beribadah dengan
baik kepada Allah dan menasehati (tulus kepada) tuannya, serta orang miskin
yang menjaga kehormatannya (tidak mengemis) walaupun banyak anak-anaknya.
Sedangkan tiga yang paling pertama masuk neraka adalah: Pemimpin yang diktator,
orang kaya yang banyak harta tapi tidak menunaikan hak Allah pada hartanya, dan
orang miskin yang sombong". (HR Turmidzi dan Al Hakim, dari Abu Hurairah).
Hadits di atas menyebutkan terkait orang-orang yang
paling pertama, baik masuk sorga ataupun masuk neraka. Paling pertama disini
bisa mengandung makna memang paling pertama dalam hal yang disebutkan, atau
juga mengandung makna janji yang sangat mulia atau ancaman yang sangat keras
dari Allah.
Sebab, terdapat dalil dari hadits-hadits lain yang
menyebutkan orang-orang lain yang juga paling pertama masuk sorga atau neraka,
tapi tidak ada dalam teks hadits ini.
Maka berdasarkan hadits ini, golongan pertama yang paling pertama masuk sorga adalah orang yang
*mati syahid*. Yaitu orang yang wafat atau terbunuh karena memperjuangkan agama
Allah, atau mati terbunuh di medan pertempuran jihad fiisabilillah. Mereka ini
masuk dalam jenis syahid hakiki, yang jenazahnya dishalatkan tapi tidak
dimandikan, dan tidak dikafani kecuali dengan pakaian yang dia pakai saat mati
syahid.
Kemudian ada lagi orang-orang yang syahid secara hukum,
tapi tidak termasuk syahid hakiki. Mereka tidak diperlakukan sebagaimana syahid
hakiki. Mereka tetap dimandikan, dikafani dan dishalatkan seperti jenazah biasa
lainnya. Mereka mendapat kemuliaan khusus dari Allah, tetapi tidak sampai level
(derjat) syahid hakiki.
Berdasarkan hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Nasai, mereka itu antara lain adalah: "Orang yang wafat karena membela
hartanya, atau karena membela darahnya (jiwanya), atau karena membela
keluarganya".
Kemudian dari hadits lain riwayat Abu Daud dan Nasai dari
Jabir, oran yang juga syahid adalah: "Orang yang mati tenggelam, yang mati
karena sakit perut, yang mati karena kebakaran, yang mati karena tertimpa
bangunan dan perempuan yang mati karena melahirkan."
Kelompok *kedua*
yang paling pertama masuk sorga adalah hamba sahaya yang beribadah dengan
baik kepada Allah dan memberikan nasehat kepada tuannya. Kondisi dirinya yang budak
dan tidak berdaya, tidak menghalanginya untuk dapat melaksanakan ibadah dengan
cara yang terbaik. Disamping itu dia tidak sungkan atau malu untuk memberikan
saran atau nasehat kepada tuannya, sebagai bentuk ketulusannya kepada tuannya.
Sebab, orang-orang yang berada dalam posisi susah apalagi
tidak berdaya, biasanya akan sulit melaksanakan ibadah dengan kualitas
maksimal. Apalagi akan berani pula untuk memberikan nasehat kepada tuannya.
Kedua perbuatan tersebut beresiko besar lagi berat baginya. Tapi dia tetap
melaksanakannya.
Adapun yang
*ketiga,* gololongan yang paling pertama masuk sorga adalah orang yang tak
berpunya (miskin), tapi tidak mau mengemis-ngemis, padahal dia memiliki anak
atau keluarga yang banyak. Orang miskin *terhormat* jenis ini lebih
memilih hidup sangat minimalis dan apa adanya, qana'ah dengan itu, dari pada
menjatuhkan harga diri dengan meminta-minta kepada orang lain.
Dengan himpitan dunia hari ini, ada orang-orang miskin
yang menjatuhkan harga dirinya, meminta kian kemari, kadang berani berbohong
atau menipu, atau bahkan menggadaikan agamanya, demi sesuap nasi.
Sedangkan bagian kedua yang dinyatakan Rasulullah saw
sebagai 3 golongan pertama yang *masuk
neraka* adalah:
*Pertama*
penguasa atau pemimpin yang diktator. Yaitu penguasa yang berlaku semena-mena
kepada rakyatnya, menyusahkan mereka dan memimpin dengan tangan besi.
Di bawah kekuasaannya, rakyat menjadi tertindas,
kemiskinan dimana-mana, banyak kewajiban yang menghimpit sementara hak semakin
terbatas dan berkurang.
Dalam konteks yang semakna, yang menunjukkan betapa
urgennya posisi pemimpin atau penguasa, hadits lain menyebutkan 7 golongan yang
nanti di akhirat mendapat naungan khusus dari Allah, di hari yang tidak ada
sama sekali naungan kecuali naunganNya. Satu dan yang pertama dari 7 golongan
tersebut adalah "Imam (pemimpin) yang adil".
*Kedua* adalah
orang kaya yang tidak menunaikan hak-hak Allah yang ada di dalam hartanya. Ia
tidak menunaikan kewajiban zakat secara baik dan rapi. Kalaupun ia berzakat,
tapi ia tidak tuntaskan dari seluruh harta (nikmat) Allah yang ia terima.
Dibayarkan hanya secara kira-kira saja tanpa hitungan yang detail dan valid
dari total rezeki Allah yang diterimanya.
Disamping itu ia juga tidak menunaikan kewajiban lain
dalam hartanya (diluar zakat). Yaitu berupa pemberian kepada karib kerabat,
anak yatim, orang miskin, para pengemis dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan
Firman Allah yang mengisyaratkan adanya kewajiban lain dikuar zakat, dalam
surat Al Baqarah:
وَآتَى
الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي
الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ
وَفِي الرِّقَابِ...
Artinya: "dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya..." (QS Al Baqarah: 177).
Ditambah lagi dengan pelitnya ia dalam memberikan sedekah
dan infaq-infaq yang sunnah. Allah telah memberikan ancaman dan peringatan
keras bagi orang-orang yang berlaku bakhil (pelit):
الَّذِينَ
يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ
مَا آتَاهُمُ اللَّهُ
مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
Artinya: "Orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang
lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya
kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang
menghinakan". (QS An Nisa: 37).
*Ketiga*
adalah orang miskin yang sombong. Yaitu orang miskin yang tidak punya apa-apa,
tapi bersifat sombong, angkuh dan congkak kepada orang lain. Ini merupakan
akhlak yang sangat tercela. Sebab, ia tidak mempunyai sesuatu yang layak untuk
disombongkan atau dibangga-banggakan kepada orang lain. Dosa orang miskin yang
sombong lebih besar dari pada orang kaya yang sombong.
Semakna dengan ini, juga terdapat hadits shahih yang
menyatakan:
عن أبي هريرة رضي
الله عنه: عن النبي
صلى الله عليه
وسلم قال: ثلاثة لا
يكلمهم الله يوم القيامة،
ولا يزكيهم، ولا
ينظر إليهم، ولهم عذاب
أليم: شيخ زان، وملك
كذاب، وعائل مستكبر. (رواه
مسلم).
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah
saw, Beliau bersabda: "Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah
pada hari kiamat, dan tidak akan disucikan Allah, serta tidak akan dilihat oleh
Allah, dan bagi mereka adzab yang pedih. Yaitu: Orang tua yang berzina, Raja
(pemimpin) yang pembohong, dan orang miskin yang sombong". (HR Muslim).
Semoga kita termasuk dalam 3 golongan yang pertama-tama
masuk sorga.
Wallahu A'laa wa A'lam.
EMPAT KEBAHAGIAAN dan EMPAT KESENGSARAAN
Oleh: H. Irsyad Syafar, Lc., M.Ed
Hal yang paling berpengaruh bagi diri dan hidup seseorang
adalah yang selalu atau sering melekat dengan dirinya. Hal-hal tersebut, bila
menyenangkan maka akan membuat seseorang menjadi bahagia. Sebaliknya, bila
menyusahkan maka akan membuatnya menjadi sengsara.
Adapun hal yang sifatnya sementara, tidak berlama-lama
dan tidak dalam jangka waktu yang panjang, biasanya tidak terlalu berpengaruh
besar dalam bahagia atau sengsaranya seseorang.
Bagi orang yang beriman, pastilah mereka menginginkan
kebahagiaan hidup di dunia dan juga di akhirat. Dan bahagia di dunia itu adalah
suatu yang boleh dan dianjurkan, selama sesuai dengan arahan syariat Allah.
Bahasa Al Qurannya adalah kebaikan (hasanah) di dunia dan kebaikan (hasanah) di
akhirat:
وَمِنْهُمْ
مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ.
Artinya: "Dan di antara mereka ada orang yang
berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (QS Al Baqarah: 201).
Atau dalam bahasa ayat yang lain "hayatan thayyibah" (kehidupan yang
baik):
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ
أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ (97)
Artinya: "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan." (QS An Nahl: 97).
Nabi Muhammad SAW menjelaskan 4 kebahagiaan bagi orang
beriman di dunia dan sekaligus lawannya 4 kesengsaraan.
عن سعد بن أبي
وقاص - رضِي الله عنه
- عن رسول الله - صلى
الله عليه وسلم - أنه
قال: "أربعٌ من السعادة:
المرأةُ الصالحة، والمسكنُ الواسِع،
والجارُ الصالح، والمَرْكَب الهنيء،
وأربعٌ من الشقاء:
المرأة السوء، والجار السوء،
والمركب السوء، والمسكن الضيِّق."
(رواه ابن حبان، والحاكم،
والطبراني والبيهقي، وصححه الألباني).
Artinya: Diriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqqash, bahwa
Rasulullah saw telah bersabda: "Empat hal yang termasuk kebahagiaan adalah
Istri yang shalehah, rumah yang lapang, tetangga yang baik dan kendaraan yang
nyaman. Dan empat hal yang merupakan kesengsaraan adalah Istri yang buruk
(akhlaknya), rumah yang sempit, tetangga yang buruk dan kendaraan yang tidak
nyaman." (HR Ibnu Hibban, Al Hakim, Thabrany dan Baihaqi, dishahihkan oleh
Albani).
Dari hadits di atas, maka kebahagiaan yang *pertama* adalah *istri yang shalehah*.
Sebagaimana dalam hadits shahih Muslim, Rasulullah saw menyebutkan bahwa istri
yang shalehah itu adalah perhiasan dunia yang terbaik. Ia akan mencintai
suaminya dengan tulus dan ikhlas, setia dan patuh kepadanya, rela dan qana'ah
dengan pemberian suami, menjaga harta suami dan anak-anaknya, serta menjaga
kehormatan dirinya sendiri.
Wanita shalihah itu juga adalah yang apabila suami
memandangnya, suami menjadi senang. Karena ia pandai berhias di depan suaminya,
bertutur kata sopan, memberikan senyum terbaiknya setiap hari. Dan bila suami
menyuruhnya, maka ia akan patuh dan taat kepadanya (selama bukan maksiat),
mengerjakannya dengan penuh penghormatan. Bahkan Rasulullah saw menyatakan
bahwa wanita ahli sorga itu adalah yang penyayang, banyak anak dan lemah
lembut. Malah bila dia dizhalimi maka dia letakkan tangannya di tangan suaminya,
dan dia berkata: "Ini tanganku di tanganmu. Tak akan aku kecap makanan
sebelum engkau redha kepadaku." (HR Daruquthni, dihasankan Albani).
Semua inilah kebahagiaan yang tak ternilai harganya.
Seorang suami pasti akan nyaman berada dan bersama dengan istri yang seperti
ini. Tak lama diluar rumah, ia akan segera ingin kembali. Bila bepergian jauh,
rasa rindunya tak tertahan di hati.
Sebaliknya akan menjadi kesengsaraan dan petaka bila
punya istri yang buruk akhlaknya. Tidak patuh dan tidak setia kepada suami.
Mudah senyum dan ramah kepada lelaki lain, tapi kepada suaminya sendiri justru
ketus, cerewet dan jarang senyum. Ia bisa tampil keluar rumah bagaikan ratu
sejagad, tapi di dalam rumah (saat suami di rumah) dia bagaikan pembantu rumah
tangga yang tidak menarik. Apalagi ditambah dengan tidak amanah dengan harta
suami, tidak sayang kepada anak-anaknya, mudah marah dan emosi, atau bahkan
kosa katanya yang tidak terpilih lagi menyakitkan. Pastilah hidup bersama istri
seperti ini sangat sengsara dan tertekan. Berada di rumah tidak nyaman, lebih
baik berlama-lama di luar.
Tentunya, kebahagian bagi istri adalah bila punya suami
yang shaleh. Sayang dan cinta kepada istri, menjaga dan membimbingnya dengan
penuh ikhlas. Memberikan kebutuhannya semaksimal mungkin. Meringankan bebannya
dengan dukungan fasilitas yang memungkinkan.
Kebahagian yang
*kedua* adalah *rumah yang lapang*. Sebab, rumah yang lapang akan membuat
hati menjadi lega. Udara dan oksigen yang berputar di dalamnya juga mencukupi.
Kebutuhan masing-masing anggota keluarga akan terakomodasi. Akibatnya pikiran
dan ide-ide akan selalu jernih dan terbuka. Privasi setiap orang juga
dapat terjaga.
Betapa senangnya suasana hati bila dalam kondisi rumah
seperti itu. Setiap suami yang baik haruslah terus berusaha sekuat kemampuan
untuk mengahdirkan "rumah bahagia" ini bagi anggota keluarganya.
Sebaliknya, adalah *sebuah kesengsaraan* bila tinggal di
rumah yang sempit. Suasana menjadi sumpek, ruang gerak menjadi terbatas,
privasi tak terjaga, perabotan tak bisa tertata dan juga tidak memadai.
Berlama-lama dengan suasana seperti ini tentu akan menjadi beban dan kesusahan.
Kebahagian yang
*ketiga* adalah *tetangga yang baik*. Yaitu yang peduli dengan tetangganya,
tidak mengganggu dan menyusahkannya. Saling menghormati dan menghargai hak
masing-masing, serta menunaikan kewajiban satu sama lain. Ringan tangan dalam
membantu dan tanggap akan kebutuhan tetangganya. Bisa dipercaya dan amanah,
serta mampu menutupi aib dan kekurangan orang lain.
Bila mempunyai tetangga sebaik ini tentulah akan sangat
bahagia. Suasana terasa nyaman dan lingkungan sangat kondusif. Tidak ada rasa
ragu, cemas, khawatir apalagi takut bila hidup berdampingan. Bahkan bila hendak
bepergian jauhpun, tetangga bisa dipercayakan untuk menjaga rumah (keluarga)
yang ditinggalkan.
Sebaliknya, adalah suatu kesengsaraan bila memiliki
*tetangga yang buruk.* Yaitu tetangga yang menimbulkan kesusahan, sering
mengganggu, tidak peduli kepada sesama dan hanya mementingkan diri sendiri.
Bila kita mendapat nikmat, dia cemburu dan iri. Bila kita dapat musibah dan
kesusahan, dia justru bahagia. Suka menfitnah, menebar gosip kian kemari, dan
lebih sering membuat permusuhan.
Bila hidup bersama tetangga yang seperti ini, pastilah
hidup terasa berat, susah dan sengsara. Setiap kali berjumpa atau berpapasan
hanya akan mendapatkan muka yang masam atau wajah yang sinis. Jarang bertegur
sapa kecuali sekadarnya. Kalaupun bisa berkomunikasi atau berbicara, maka
pembicaraan pun tidaklah terasa enak. Tidak jarang akan berakhir dengan
perdebatan atau perselisihan.
Kebahagian
*keempat* menurut Baginda Nabi SAW adalah *kendaraan yang nyaman.* Yaitu
yang memudahkan urusan pengendaranya. Memberikan kenyamanan, menyampaikan ke
tujuan dengan selamat dan lancar, sesuai dengan harapan. Kenyamanannya bukan
karena mahalnya harga, akan tetapi karena pengendaranya tidak merasa susah dan
letih di atasnya. Apalagi bila kendaraan itu adalah sarana untuk meluaskan
dakwah, menopang perjuangan amar makruf dan nahi mungkar.
Sebaliknya bila kendaraan itu menyusahkan, membuat
pengendaranya menjadi letih dan sulit, berakibat gagalnya banyak agenda dan
pekerjaan, maka itu tentunya sebuah *kendaraan yang buruk.*
Adalah suatu yang mubah dalam agama bila seorang mukmin
memiliki kendaraan yang nyaman, yang memudahkannya untuk beramal shaleh dan
berdakwah di jalan Allah. Nabi Shallallahu alaihi wasallam memiliki
kendaraan-kendaraan (tunggangan) pilihan di zamannya, yang cepat larinya dan
tangguh dibawa berjuang. Baik berupa kuda maupun onta dan beghal. Bahkan Beliau
memiliki tunggangan yang baik lebih dari satu.
Senin, 08 Januari 2018
LIMA SEBELUM LIMA
Oleh: Irsyad Syafar, Lc., M.A
Nikmat itu baru terasa kalau sudah tidak ada. Kalau masih
ada atau masih di tangan, sering terlupakan. Kalau sudah habis atau hilang,
timbullah kerisauan dan angan-angan. Seandainya begini, seandainya begitu....
Bila kita tidak ingin menyesal, maka manfaatkanlah segala
nikmat - selama masih ada - untuk kebaikan. Bila kita ingin rasa memiliki
nikmat itu semakin kuat, maka tengok dan perhatikanlah orang yang telah
kehilangannya, di saat kita masih punya.
Ada limat nikmat yang disebut khusus oleh Rasulullah saw:
*Pertama, Masa dan
usia muda.* Adalah nikmat yang sangat berharga dari Allah. Di saat masih
muda, berbagai potensi dan kemampuan Allah berikan. Tenaga, semangat, daya
juang, daya tahan, obsesi dan sebagainya, sangat kuat dan maksimal di saat
masih muda. Ingin berbuat apa, ingin bekerja apa, ingin pergi kemana, ingin
merancang apa dan sebagainya, masih sangat mungkin direalisasikan.
Kalau ingin terasa betapa masa muda itu adalah nikmat yang
mahal, kunjungilah orang yang sudah tua. Banyak hal yang dia sudah tidak mampu
dan tidak kuat melakukannya. Tenaga sudah jauh berkurang, kulit sudah keriput,
daya tahan untuk lama-lama bekerja sudah menipis, pandangan dan pendengaran
juga melemah, dalam banyak hal akan bergantung pada pertolongan orang lain.
Sudah sulit diajak berjalan cepat, apalagi berlari kencang.
*Kedua, Nikmat
sehat.* Itu adalah nikmat yang sangat berharga. Dengan nilai berapapun
orang mau menebusnya. Sebab, dengan kesehatan orang terbebas dari banyak
halangan, pantangan dan rintangan. Sayangnya, pepatah arab mengatakan,
"kesehatan itu adalah mahkota di atas kepala orang yang sehat. Tidak
banyak yang melihatnya kecuali orang yang sakit".
Kalau kita betul-betul ingin merasakan betapa nikmatnya
sehat itu, kunjungilah (lihatlah) orang yang sakit. Apalagi orang yang kita
kenal dahulunya energik, aktif, penuh kerja dan karya. Saat dia sudah terbaring
tak berdaya, fisiknya sudah berubah, tenaga sudah sangat berkurang, bahkan
mungkin pasrah dengan "taqdir" Allah, saat itulah kita akan mengakui
nikmat pemberian Allah yang bernama sehat.
Tidak jarang karena jenis penyakit tertentu, banyak
nikmat yang menjadi hilang, padahal kita mampu memilkinya. Bila sudah darah
tinggi terlaranglah sebagian makan. Bila sudah tinggi kolestrol, terhalanglah
dari berbagai makanan. Bila sudah kena sakit gula, maka berkuranglah nikmat
sebagian makanan. Dan banyak lagi pantangan-pantangan lain.
*Ketiga, Nikmat
kaya* atau berpunya, juga merupakan nikmat yang sangat besar dari Allah.
Dengan kekayaan seseorang bisa berbuat dan melakukan banyak hal. Apalagi kalau
orangnya shaleh dan taat kepada Allah. Ia bisa beribadah dengan baik, pergi
haji dan umrah, berinfaq dan bersedekah, membangun masjid dan lembaga
pendidikan, membantu orang lain yang dalam kesulitan. Terpikir hendak berinfaq,
langsung bisa dieksekusi. Terangan-angan ingin membantu orang lain, langsung
dapat direalisasikan.
Bila kita ingin lebih merasakan nikmatnya kekayaan itu,
maka kunjungilah orang yang tidak punya (faqir miskin) disaat kita punya.
Duduklah sejenak bersamanya, melihat dan mendengar "deritanya".
Dengarkan harapan dan angan-angannya, agar kita ikut bersamanya dalam suasana
"ketidakmampuan". Paling tidak, kita akan semakin bersyukur kepada
Allah atas nikmat-nikmatNya.
*Keempat*, sangat
mahal harganya *nikmat lapang*. Dimana kita punya waktu memadai untuk
mengerjakan sesuatu, menuntaskan tugas-tugas, menunaikan janji dan amanah,
memenuhi permintaan orang lain dan sebagainya.
Kalau kita ingin merasakan betul nikmatnya waktu lapang,
datangilah orang yang sangat sibuk dan padat agenda. Terutama yang sudah
"kepepet" dengan jadwal penyelesaian tugas. PR belum selesai, skripsi
belum tuntas, kerjaan kantor menumpuk, hutang jatuh tempo dan sebagainya,
sementara waktu sudah sangat kasib.
Dalam kondisi tersebut biasanya banyak tugas yang
terabaikan, kualitas kerja yang sangat rendah dan kadang asal-asalan. Jangankan
yang sunat, yang wajib-wajib pun kadang jadi tertinggal. Birrul walidain tak
jalan, silaturrahim macet, janji-janji terkendala dan lain sebagainya.
Yang *kelima*,
nikmat yang paling sering kita lupakan adalah *nikmat hidup*. Saat masih
hiduplah kita bisa menambah tabungan akhirat, pundi-pundi amal shaleh dan
peluang-peluang tingginya derajat di sisi Allah. Kalau sudah mati, berakhirlah
semuanya, kecuali yang memang sempat "diinvestasikan" saat masih
hidup.
Bila kita ingin terus merasakan nikmatnya hidup, maka
kunjungilah orang yang baru saja wafat. Lihatlah jasadnya yang sudah tak
berdaya, pasrah menunggu proses-proses terakhir di dunia. Berikutnya jalan
panjang di akhirat yang tak ada lagi amal, tinggal pembalasan. Pastilah begitu
banyak rencana, obsesi, keinginan dan cita-cita yang belum kesampaian. Karena
memang, obsesi (angan-angan) seseorang selalu saja melampui batas-batas
ajalnya.
Bila lima hal tersebut kita coba mengamalkannya, tentu
akan kita pahami kenapa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh kita untuk
menggunakan yang lima sebelum datangnya yang lima:
عن بن عباس
رضي الله عنهما
قال : قال رسول الله
صلى الله عليه
وسلم لرجل وهو يعظه
: " اغتنم خمسا قبل خمس
شبابك قبل هرمك وصحتك
قبل سقمك وغناءك
قبل فقرك وفراغك
قبل شغلك وحياتك
قبل موتك".
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata
bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, "Manfaatkanlah
yang lima sebelum datangnya yang lima: Masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu
sebelum sakitmu, kayamu sebelum faqirmu, lapangmu sebelum sempitmu, dan hidupmu
sebelum matimu." (HR Hakim, dishahihkan Albani).
Wallahu A'laa wa A'lam.